#EnsiklopediaUnikDisekitarKita:masih ingatkah anda tragedi poso yaitu peristiwa perang agama antara kristen dan islam di ambon,poso,peristiwa yang merenggut banyak korban jiwa terutama anak-anak dan ibu-ibu,nah ini infonya.....
25 Desember 1998 (Kasus Poso I)
Jum’at
25 Desember 1998, bertepatan dengan Ramadhan 1419 H, sekelompok pemuda
kristen mengkonsumsi miras dan membuat keributan saat Sholat tarawih
digelar.
Pengurus masjid mencoba mengingatkan. Usaha itu berhasil, para pemuda kristen
pergi meninggalkan area masjid. Lewat tengah malam kelompok pemuda kristen itu
kembali.
Salah seorang pengurus masjid (Ridwan) yang sebelumnya memperingatkan
mereka untuk tidak mabuk-mabukan, dikejar oleh Roy Runtu yang dalam keadaan
mabuk. Ketika itu, Ridwan tengah membangunkan warga Muslim di Kelurahan Sayo
untuk makan sahur. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah
masjid (dekat pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat
berteriak minta tolong dan lari dengan meningalkan percikan darah di plafon
masjid.
Setelah kejadian itu, masyarakat muslim Poso yang mendengar berita ini segera
berkumpul. Konsentrasi massa pada akhirnya bergerak menghancurkan setiap
kedai/toko
yang menjual miras. Masyarakat muslim meminta pemuda yang melakukan
penganiayaan agar menyerahkan diri. Dan menuntut aparat untuk segera
menangkap pelakunya.
Bukannya minta maaf dan menyerahkan diri, salah seorang dari mereka justru mencari bantuan ke Tentena. Herman Parimo,
tokoh kristen Tentena membawa massa bergerak ke Poso, membakar Pasar
sentral Poso dan mengadakan pawai keliling Poso, menunjukkan
kemenangannya. Kabar Poso sudah diduduki massa Tentena terdengar di
Parigi dan Ampana (basis massa muslim). Dengan koordinasi ustadznya
masing-masing bergeraklah massa kedua kota itu ke Poso.
Poso
kembali dalam kendali umat Islam. Dua pasukan, muslim dan kristen
masih menggunakan alat tempur sederhana, parang dan batu, meski
beberapa sniper terbukti telah melukai beberapa orang muslim.
Sebanyak 100 orang luka-luka, puluhan rumah dan kendaraan bermotor rusak berat..
16-19 April 2000 (Kasus Poso II)
Minggu 16 April 2000,
di Terminal Poso dua pemuda pemabuk asal Desa Lambodia dan Lawanga
(desa Islam dan Kristen) terlibat pertikaian. Warga kedua desa saling
serang, aksi bentrok massa meluas ke daerah sekitar Poso, juga menyulut
bentrokan antara Kelompok Merah dengan Kelompok Putih. Dari peristiwa
ini sedikitnya tiga orang tewas, empat orang luka-luka, 267 rumah
terbakar, enam
mobil terbakar, lima motor hangus, tiga gereja hancur, lima rumah asrama polisi
hancur, ruang Bhayangkari Polda terbakar.
16 Mei 2000
Selasa 16 Mei 2000, Dedy seorang pemuda dari desa Kayamanya (suku Gorontalo)
tengah mengendarai motor Crystal pada malam hari, tiba-tiba dihadang sekelompok
pemuda Kristen yang mabuk di Desa Lambogia. Dedy sempat melarikan diri dengan
motornya, namun terjatuh sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Setelah
diperban, kemudian Dedy melaporkan pada teman-temanya di desa Kayamanya, bahwa ia dibacok oleh pemuda kristen Lambogia.
17 Mei 2000
Rabu 17 Mei 2000, warga muslim Kayamanya (sekitar 20 orang beserta aparat)
mendatangi Kelurahan Lambogia untuk mencari oknum pelakunya namun disambut
dengan serbuan panah/peluncur dari warga Lambogia. Dan pada malamnya, warga
Kayamanya membakar Desa Lambogia sekitar 400 rumah serta sebuah gereja Beniel.
19 Mei 2000
Jum’at 19 Mei 2000, ditemukan mayat Muslim korban pembantaian di Jalan Maramis
kelurahan
Lambogia, dengan luka bacokan dan leher tertusuk panah. Kemudian warga
muslim terpancing emosi dan bergerak kembali membakar gereja Advent
dan sebuah gereja besar dekat terminal, gedung serba guna, SD, SMP dan
SMA Kristen. Warga kristen mengungsi ke kelurahan Pamona Utara
(Tentena) dan Tagolu yang merupakan basis Kristen.
Setelah
kejadian tersebut, umat Islam di Kelurahan Kowua bersiaga penuh
mengantisipasi serangan balasan. Seorang muallaf bernama Nicodemus
yang kebetulan bekerja di Tentena ditugaskan untuk memantau
perkembangan warga Kristen di Tentena. Setelah 2 minggu kemudian, Nico
kembali ke Poso karena merasa dirinya sedang diintai. Namun dari situ
muncul kesepakatan untuk menginformasikan melalui kata Sandi Pak Nasir (Nashara) datang berobat lanjut
ke Poso berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani.
22 Mei 2000
Senin 22 Mei 2000, Pak Maro
(muallaf) dari kelurahan Lawanga, yang disusupkan di Kelurahan Kelei,
datang ke kediaman Ust. Abdul Gani, membawa pesan akan ada penyerbuan
pada shubuh hari. Pak Maro menyamar dengan memakai kalung salib dan
mentato tubuhnya. Di Kelei yang merupakan basis kristen pernah diadakan
latihan
militer. Jam 5.30 sore ada interlokal dari Nicodemus di Tentena ke rumah pak Abdul Gani memberitakan, bahwa “Pak Nasir (Nashara) akan berkunjung obat ke Poso malam ini atau besok.”
Jam
7 malam, seorang pemuda bernama Heri Alfianto yang juga ketua Remaja
Masjid Kowua memberikan informasi bahwa di rumahnya yang kebetulan
terdapat TUT (Telepon Umum Tunggu), ada seorang Kristen yang diduga
ingin menggunakan jasa telepon bercerita kepadanya bahwa pada jam 2
malam akan ada penyerangan dari masyarakat Flores (Kristen). Sekedar
gambaran, Heri Alfianto dilihat dari raut wajahnya mirip orang Kristen
karena ibunya berasal dari Manado yang muallaf,
sehingga
orang kristen mengira Heri juga orang Kristen. Penyerangan dilakukan
per kelompok kecil dengan sasaran KBL (Kayamanya, Bonesompe, Lawanga)
dan menculik tokoh-tokoh Islam Poso, antara lain Haji Nani, Ust. Adnan Arsal, dll.
Pada malam itu juga dikumpulkan para tokoh yang tergabung dalam “Forum
Perjuangan
Umat Islam” yang terbentuk sejak kerusuhan Poso jilid I di rumah Ust.
Adnan Arsal dan langsung mengkoordinasikan pembagian tugas penjagaan di
pos-pos
yang telah ditentukan.
Pertemuan itu selesai jam 21.30. Pada malam itu sudah tersebar isu
penyerangan terutama di Kecamatan Poso Pesisir, sehingga setiap warga,
baik Islam dan Kristen, berjaga-jaga mengamankan diri.
Pada
jam 24.00 rombongan Muspida beserta Ketua DPRD Tk.II Akram Kamarudin,
menenangkan warga, memberitahukan kepada warga Poso bahwa berdasarkan
informasi Kapolsek Pamona Utara, Ramil Pamona Utara dan Camat Pamona
Utara isu penyerangan itu tidak benar dan menyesatkan. Akhirnya warga
yang tadinya berjaga di pos-pos
bubar
dan kembali ke rumah, kecuali warga di Kelurahan Kowua. Bahkan pemuda
Kowua membantah berita dari Muspida tersebut karena yakin dengan info
dari Nico di Tentena.
Setelah itu
muncul tanda bahaya berupa kentungan pada tiang listrik dari desa
seberang sungai, tepatnya di PDAM, Kelurahan Gebang Rejo. Kemudian
dikonfirmasikan melalui telepon ke Ust. Adnan Arsal yang tinggal di
Gebang Rejo, namun dijawab bahwa sampai saat ini belum ada tanda
pengerahan massa yang melewati Desa Gebang Rejo. Tak berapa lama, Pak
Adnan Arsal memberitakan memang ada penyerangan dilakukan hanya oleh
kelompok kecil berpakaian ninja..
23 Mei 2000 (Kasus Poso III)
Selasa 23 Mei 2000
sekitar pukul 02.00 wita terjadi kerusuhan yang dipicu oleh 13
“pasukan ninja” bersenjatakan kelewang, senjata pelontar dan tombak.
Salah satu dari tiga ninja yang berhasil ditangkap adalah perempuan
berumur sekitar 25 tahun. Salah seorang lainnya mengaku warga trans
Beteleme asal Nusa Tenggara. Pasukan ninja ini beraksi dengan mengintai
warga yang melintas di poros jalan Kelurahan Kayamanya. Siapa pun yang
melintas di poros jalan itu mereka bacok.
Kelompok
ninja tersebut membawa sandera (Pak Alwi, pegawai BNI), dibawa ke Desa
Kayamanya dengan tujuan mencari Haji Nani Lamusu. Dari pihak Polres,
yakni Bapak Serma Kamaruddin Ali (47) yang ingin menyelamatkan sandera
dan mencoba bernegosiasi, berkata: “Saya ini polisi”, sembari
mencabut pistol. Namun Pak Kamarudin keburu tewas di tempat dibacok
kelompok ninja itu. Sedangkan pak Alwi (sandera) selamat dan melarikan
diri. Mereka berhasil membakar rumah Haji Nani Lamusu, dan terus maju
ke desa Moengko Baru, di situ didapati seorang mantan lurah, Pak Abdul
Syukur (40) yang ingin memukul tiang listrik tanda bahaya dibacok
hingga tewas. Selain itu yang kena bacok dan langsung tewas Baba
(62) warga kelurahan Moengko Baru. Sebagian dari “pasukan ninja” saat dikejar oleh masyarakat langsung bersembunyi di kompleks Gereja Katolik di Kelurahan Kayamanya.
Pada
hari yang sama, beredar isu yang isinya semua rumah-rumah ibadah
(Gereja) di sekitar Kota Poso akan dibakar dan sejumlah tokoh-tokoh
kristen akan diculik.
Berdasarkan isu itu, sejumlah umat kristen mengungsi ke asrama-asrama Kodim dan Polres Poso.
24 Mei 2000
Rabu
dinihari 24 Mei 2000, terjadi penyerangan mendadak dari sekelompok
orang berpakaian ala ninja ke beberapa pos pengamanan di beberapa
kantong muslim.
Berikutnya, warga
Kelurahan Kayamanya (Islam) hendak melakukan penyerangan ke warga
Kelurahan Lombogia dan kantong-kantong permukiman Kristen lainnya.
Polisi menghalangi niat itu. Tapi kerusuhan tak bisa dibendung.
Akibatnya, tiga orang tewas; salah satunya polisi (Serda Pol Rudy yang
tertembak senjata rakitan) dan 15 orang luka-luka.
26 Mei 2000
Jumat
26 Mei 2000, Pasukan Merah yang berjumlah ribuan mengepung dan
berusaha menguasai kota Poso. Tetapi di perbatasan kota mereka ditahan
oleh Komando Jihad yang berjumlah sekitar 900 orang. Akibat kebiadaban Pasukan Merah, sekitar 1500 muslim tewas dan hilang.
Jumat
26 Mei 2000, puluhan warga muslim Kecamatan Lage berencana mengungsi
ke Poso Kota dengan menumpang delapan buah mobil. Ketika rombongan tiba
di Togolu, mobil-mobil mereka dicegat oleh Kapolsek dan Camat Lage.
Kapolsek dan Camat menyuruh pengungsi kembali ke kampung dengan alasan
Laskar
Kristen sudah dipergikan. Akhirnya, rombongan mengungsi ke pingir
kuala (Ahad, 28 Mei 2000), selanjutnya rombongan langsung lari ke Kayoe
wilayah Lembomawo untuk menginap semalam. Di tempat ini, Laskar
Kristen menemukan mereka dan langsung menggeledah. Wens Tanagiri
menggiring rombongan dari Kayoe ke pinggir kuala kemudian ke Kayoe
lagi, kemudian digiring lagi ke dalam hutan besar Tambora. Di sini,
rombongan sempat tidur dua hari dua malam.
Paginya,
Pak Hamidun, Jumirin, Slamet, Pardono dan Suman bermaksud turun ke
Kuala untuk mengambil air, mendadak mereka disergap oleh Laskar Kristen
yang berjumlah sekitar 70 orang. Anggota rombongan lain sempat lari
dan bersembunyi.
Namun esoknya,
Laskar Kristen berjumlah 75 orang sekitar jam 11 siang datang lagi,
melakukan penyergapan. Pengungsi perempuan ditelanjangi, sedangkan
pengungsi laki-laki diikat tangannya menjadi satu renteng, ditendang,
disiksa, dan dibawa pergi entah ke mana. Hingga kini tak pernah
kembali.
27 Mei 2000
Sabtu
27 Mei 2000 sekitar pukul 07.00 pagi, sekitar 300 orang Pasukan Merah
yang bergerak di sebelah Timur memasuki desa Tokorondo dari Desa
Masani. Begitu masuk desa, mereka dihadang oleh sekitar 400 orang
pasukan putih. Tetapi begitu melihat persenjataan yang dibawa oleh
pasukan merah, komandan pasukan putih memerintahkan anak buahnya untuk
mundur. Pasukan Merah bertindak ugal-ugalan. Mereka memberondongkan peluru secara membabi buta.
TNI
baru datang sekitar tanggal 6 Juni 2000. TNI terlambat datang karena
mereka (Pasukan Merah) memutus jalan darat menuju Poso. Jadi disamping
bergerak menghabisi dan membakar rumah-rumah kaum muslimin, mereka juga
menebangi pohon-pohon dan membiarkannya melintang di jalanan.
Sabtu
27 Mei 2000 malam hari, Saleh (40) dikejutkan oleh orang-orang yang
menyelinap ke dalam areal Ponpes Wali Songo, sehingga membuat warga
Pondok terbangun dan berjaga-jaga sampai pukul 03.00 WITA.
28 Mei 2000
Minggu 28 Mei 2000 pagi hari, terjadi bentrokan antara massa Islam dan Kristen di Tokorando, sekitar 70 warga Kristen bersenjata api melawan 400 warga muslim bersenjata parang dan golok.
Warga muslim terpukul mundur.
Minggu
28 Mei 2000, sekitar pukul 09.00 WITA tiba-tiba datang segerombolan
orang yang berpakaian hitam-hitam lengkap dengan senjata parang, golok,
dan senjata khas organik. Beberapa di antaranya masuk ke masjid dan
membunuh 3 orang santri yang berada di dalamnya. Asrama putra dan putri
berhasil dikuasai perusuh, seluruh penghuninya disuruh keluar dan
disandera mereka, kemudian diikat tangannya kemudian dibawa ke hutan
didaerah Sintulemba. Jumlah santri putra 38
orang
dan perempuan 28 orang beserta pimpinan dan gurunya. Di hutan santri
putri disuruh pulang menuju tempat pengungsian. Santri, guru, pimpinan
Ponpes berjalan masuk hutan dengan berkelompok (1 kelompok 5 orang)
sampai daerah Lembanawa. Di Lembanawa para perusuh bertemu komandannya
dan para santri dibawa ke Ronononcu dan ditempatkan di Baruga (balai
desa).
Di Baruga
inilah (saksi hidup) menuturkan ia dan teman seluruh anggota badannya
diiris-iris dengan parang, golok, pahanya diinjak-injak, dipukul dengan
laras senjata bahkan muka santri-santri tidak berbentuk lagi (karena
dihantam dengan benda-benda tumpul). Luka irisan tsb. lalu disiram
pasir dan kemudian disiram air panas. “Saya (Ih) mengetahui bahkan
mengenali wajah perusuh tersebut yang ternyata anggota TNI.”
Menurut
saksi hidup (Ih), jumlah perusuh kurang lebih 50 orang dan bercadar
ala ninja. Lalu santri tersebut dinaikkan ke dalam truk dan di bawa ke
daerah Togolu, pinggir Koala (sungai) Poso. Disinilah pembataian
terjadi, santri yang turun dari truk langsung disambut dengan tebasan
golok/parang sampai kepalanya lepas dari badannya. Melihat hal ini, Ih
langsung terjun ke sungai. Seketika itu ikatan tangannya terlepas.
Empat orang santri yang berhasil lolos dari
pembantaian
tersebut, Ilham dengan luka bacokan, tusukan golok, berenang
menyelusuri sungai Poso kurang lebih 5 km dan berhasil diselamatkan
oleh pengungsi (Islam) dan dirawat di pengungsian (Kompi).
Beberapa
hari kemudian ditemukan 60 mayat mengambang di Sangai Poso, dan 146
mayat lainnya ditemukan penduduk di tiga titik bentrokan, yakni
Kelurahan Sayo,
Kelurahan Mo’engko dan Desa Malei di pinggiran selatan kota Poso. Diperkirakan
mayat-mayat yang ditemukan hanyut di Sungai Poso berasal dari Pesantren
Walisongo, sebab lokasi pasantren tersebut berada di bagian hulu Sungai Poso.
Seorang aparat keamanan setempat mengatakan lima dari puluhan mayat penuh
bacokan sekujur tubuhnya dan terikat menjadi satu yang ditemukan mengapung di
Sungai Poso.
Minggu 28 Mei 2000, Pendeta Donald ditahan petugas pos jaga desa Palawa kec.
Parigi, dari saku pendeta ini ditemukan pula peta lokasi peyerangan. Juga,
selebaran berisi daftar 63 nama oknum dari pihak Kristen yang terlibat sekaligus
jadi penghubung dalam kerusuhan Poso. Dari ke 63 nama itu, di antaranya terdapat
nama Mely, istri kedua konglomerat Taipan terkenal Eka Cipta Wijaya (bos Sinar
Mas group) yang tercantum pada urutan ke-20 sebagai oknum yang turut melibatkan
diri ke dalam konflik Poso.
Minggu
28 Mei 2000, kerusuhan Poso berupa kontak fisik antara Kelompok Merah
dan Kelompok Putih semakin meluas, selain terjadi di Kelurahan Sayo (di
dalam Kota Poso) juga merambat ke wilayah Kecamatan Lage dan Poso
Pesisir. Bentrok fisik terbesar terjadi di Kelurahan Sayo dan di
Kasiguncu, ibu kota Kecamatan Poso
Pesisir, melibatkan ribuan massa dari kedua kelompok yang bertikai.
Ketegangan
kian meningkat karena ribuan massa Kelompok Merah dari Kecamatan Pamona Utara,
Mori Atas, Lembo, dan Lore Utara terus berdatangan dan membantu rekan mereka di
lokasi-lokasi kerusuhan. Massa kelompok merah memblokade semua ruas jalan masuk
ke Kota Poso. Tokoh masyarakat dan pemuka agama di Palu mendesak Kapolri Letjen
Rusdihardjo segera memberlakukan Siaga I di Kota Poso dan sekitarnya.
29 Mei 2000
Senin 29 Mei 2000, perang antar pasukan putih dan merah di Kabupaten Poso masih
berlangsung. Setelah menguasai Kota Poso, pasukan merah menuju Desa Masani dan
Takurondo (sekitar 25 km arah utara Kota Poso). Abdul Jihad (26) ditembak dari
jarak lima meter, kepalanya hancur dan langsung tewas seketika, sebagaimana
dilaporkan saksi mata Sudirman (23).
Kelompok merah menggunakan senjata api yang
dipasok dari Manado dengan Helikopter yang diturunkan di Tentena. Sementara,
kelompok putih hanya menggunakan pelontar, senjata rakitan, parang dan tombak.
Aparat perintis dari Polda Sulteng, lari kocar-kacir ketika pasukan merah
mengarahkan senjatanya pada mereka. Saat itu, aparat yang diperbantukan untuk
mengamankan Poso, terdiri dari 3 SSK Polda Sulteng, 1 SST masing-masing dari
Polres Banggai dan Polres Tolitoli, 2 SST dari Korem 132/Tadulako. Di samping 3
SSK yang sudah ada di Poso.
Senin 29 Mei 2000 (kesaksian Abdurrahman, 32): Saya disandera di Tangkura,
sekitar 18 KM dari Sangginora, Poso Pesisir. Saya ditodong dengan Tombak.
Sebagai tawanan, kami diberi makan seperti makanan anjing, disedu dengan
tempurung. Jam 12, saya bergabung dengan tawanan lain di SDN 2 Tangkura. Di
tempat itu ratusan jumlahnya.
Tengah malam, satu mobil kijang pasukan Kristen
datang. Mereka mengambil dua tawanan, Muis dan Arifin. Sekitar 15 menit berlalu,
terdengar bunyi suara tembakan: “…door!” Masing-masing pasukan Kristen diberi
kesempatan mengambil sandera yang dia ingini.
Lantas saya mencoba memberikan
saran kepada pasukan Kristen supaya saya saja yang disandera dan yang lainnya
dibebaskan, tapi tidak digubris. Esoknya giliran saya yang diciduk. Saat itu
saya sedang tertidur. Saya disergap dan diikat. Kedua kaki, kedua tangan, dan
mata saya diikat dengan kain hitam. Dipaksa naik mobil open cup merah sambil
dipukul dengan senjata. Saat itu saya bilang sama mereka, kalau niat bunuh saya,
bunuh saja. Nggak usah dibawa ke mana-mana. Sayapun dibawa. Sampai di
pemberhentian jembatan Sangginora, saya dipindahkan ke mobil dump truck. Betapa
kagetnya saya, di dalam truk itu sudah tergeletak tujuh tubuh manusia. Dalam
perjalanan, tiga mayat dinaikkan pula ke truk itu. Tak lama kemudian truk
berhenti. Ternyata sampai dipinggir jurang. Saya bersama tubuh-tubuh manusia
tadi dicurahkan ke jurang. Mereka pikir, dengan membuang kami ke jurang seperti
itu kami sudah mati. Ternyata, saya bersama dua lainnya masih bernyawa.
Samar-samar saya mendengar suara salah seorang pasukan Kristen berkata dalam
bahasa Poso yang artinya, “Biar mati sendiri di jurang.” Salah seorang dari
kami, mencoba merangkak ke atas jurang. Sayang, dia terlihat oleh pasukan
Kristen yang kebetulan masih berada di bibir jurang. Akhirnya dia tewas
ditembak. Tinggallah kami berdua. Kami saling membuka ikatan. Kami bersembunyi
di hutan satu minggu lamanya. Suatu hari kami diselamatkan seseorang. Kami
menumpang mobil bermuatan kopra dan coklat menuju Tolai, hingga selamat sampai
di Parigi.
30 Mei 2000
Selasa pagi 30 Mei 2000, Kadispen Polda Sulawesi Tengah Kapten Pol Rudi Suprapto
di Palu mengatakan kerusuhan terjadi di Kelurahan Moengko, Gebang Rejo,
Lawengko, dan Sayo. Sejak pagi, perusuh mencoba menekan dengan masuk ke kota,
tetapi sampai pukul 11.00 WIT petugas kemanan berhasil mendorong mereka ke luar
kota. Para perusuh menggunakan senjata tajam dan senjata rakitan. Sedikitnya dua
orang meninggal, sepuluh orang luka berat, dan seorang luka ringan. Kadispen
Polda menyatakan tiga orang yang diduga otak pelaku kerusuhan sudah ditahan.
Perusuh itu transmigran asal Flores yang lahir di Palu.
31 Mei 2000
Rabu 31 Mei 2000, sebuah mobil Ambulance dicegat massa Muslim di Desa Palawa
Parigi yang disinyalir membawa senjata untuk massa Kristen di Kota Poso.
02 Juni 2000
Jum’at pagi 02 Juni 2000 sekitar pukul 06.30 WIT di Kelurahan Kayamanya
tiba-tiba warga pengungsi muslim yang berjumlah 50 orang dan sedang mengungsi di
Masjid Nurusy Sya’adah Kayamanya, diserbu oleh sekitar 700 anggota Pasukan Merah
yang datang dengan menumpang beberapa truk dan mobil bak di bawah pimpinan
Panglima Advent L. Lateka serta
Panglima Wanita Paulin Dai.
Pasukan Merah yang
datang dengan kesombongan sambil membawa bendera merah-putih dan berkoar-koar
menyebut-nyebut nama Yesus si Juru Selamat, ternyata pulang dengan tunggang
langgang setelah Panglimawati Paulin Dai terkena dum-dum di dada kirinya. Nyali
Pasukan Merah pun kontan ciut. Mereka lari. Sayangnya Lateka yang sudah tua
tidak cepat mengikuti langkag kaki pasukan merah yang masih muda. Lateka
tertinggal, dan akhirnya tewas, padahal sebelumnya ia begitu perkasa dan kebal
senjata.
Menurut Agus Dwikarna Ketua Kompak (Komite Penanggulangan Masalah Krisis) di
Poso Sulteng, jumlah korban terbesar terjadi di Desa Sintu Temba, Kabupaten
Poso, sekitar 150 KK tewas dibunuh atau sekitar 350 jiwa. Salah seorang saksi
hidup yang selamat adalah Udin (18). Diceritakan Udin, penyerang datang dalam
jumlah besar pada malam hari dan langsung membantai penduduk yang masih hidup.
Sebagian penduduk, lanjut Udin disandera dan dinaikan truk. Udin sendiri lolos
setelah melompat dari truk yang melaju. Selain di desa Sintu Temba, pembantaian
juga terjadi di Tegalrejo terhadap sekitar 64 KK.
03 Juni 2000
Sabtu 03 Juni 2000, ribuan pengungsi Muslim ditampung di tempat darurat, antara
lain Mess Pemda Tk. II Poso, di Kota Parigi, di Kota Ampana dan di perguruan
Al-Khairat Palu serta pondok pesantren dan Masjid yang ada di Kota Palu dan
Parigi. Massa Kristen telah menguasai kota Poso dan Poso Pesisir dan terus
melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah yang ditinggalkan oleh penduduk.
04 Juni 2000
Minggu 04 Juni 2000, Hendra sultan Haji Panyae dibunuh (dipotong) di Kelurahan
Moengko Baru di Hotel Kartika. Korban tidur berempat dengan temannya.
05 Juni 2000
Senin 05 Juni 2000, diperkirakan sudah 5000 orang pengungsi meninggalkan Poso
menuju Parigi yang berjarak sekitar 250 km dari Poso. Jalur transportasi Poso
terputus, satu-satunya jalur yang bisa dilewati transportasi adalah laut. Namun
aparat tidak berani menjamin keselamatan tim kemanusiaan termasuk tim medis dan
wartawan. Ketika sampai di Parigi, kondisi pengungsi sangat memprihatinkan. Anak
balita mereka terserang wabah diare karena sanitasi yang tidak mendukung. Setiap
hari rata-rata ada 5 balita yang harus menjalani pengobatan.
Senin 05 Juni 2000, aparat terlibat baku tembak dengan massa perusuh yang
mencoba masuk kota lewat Jembatan II. Mereka ditaksir tak kurang dari 60 orang.
Karena gagal setelah dipukul mundur aparat mereka kemudian mengalihkan serangan
ke Desa Lembomawo. Desa Lembomawo setelah masuk dalam kepungan kelompok merah,
dikabarkan banyak penduduknya yang hilang. Juga dilaporkan bahwa Tsanawiyah
Alkhairaat Sintuwu Lembo di KM 9 Poso dibakar dan Ustadz Siradjuddin, pimpinan
Tsanawiyah itu dibantai oleh massa perusuh tadi.
06 Juni 2000
Selasa 06 Juni 2000 beredar “Buku Putih” Crisis Centre Majelis Sinode
GKST
(Gereja Kristen Sulawesi Tengah) yang ditandatangani oleh
Pdt. Rinaldy Damanik,
M.Si dan Pdt M Papasi, MTH. Dokumen setebal 24 halaman ini disebarkan kepada
berbagai kalangan seperti Presiden dan Wapres RI, pejabat tinggi/tertinggi
negara, Komnas HAM, Panglima TNI, Kapolri, serta sejumlah kedutaan negara asing
di Jakarta. Isinya sebagian besar menyudutkan umat Islam.
Bentrokan kembali terjadi di Pinggiran Poso (Desa Maleilegi dan Desa Dojo) yang
mengakibatkan Desa Maleilegi hangus terbakar, 66 orang tewas, 92 orang luka-luka
(warga memperkirakan ada 150 kepala keluarga).
Selasa sore 6 Juni 2000, satu anggota TNI Kopda Pornis PD tewas ditembak Pasukan
Merah.
07 Juni 2000
Rabu pagi 7 Juni 2000, di Desa Malei terjadi lagi pertempuran antara Pasukan
Merah dengan aparat. Satu anggota Brimob Polda Sulteng Pratu Ratu Arfan
tertembak dengan luka cukup parah. Komandan Korem 132/Tadulako Kolonel Hamdan Z.
Maulani, mengatakan Kelompok Merah kian aktif menyerang aparat. Kelompok Merah
berani melakukan penyerangan kepada aparat dan tampak arogan. Pernyatan ini
disampaikan Hamdan di hadapan sejumlah tokoh agama dan masyarakat Sulteng, pada
pertemuan dengan Gubernur Sulteng HB Paliudju di Wisma Haji Palu. Tokoh Islam
diwakili oleh Sekretaris Jenderal PB Alkhairaat M. Lationo dan Prof. Tjatjo
Taha. Sedangkan tokoh Kristen diwakili oleh Drs. Datlin Tamalagi dan Drs. FE.
Bungkudapu.
11 Juni 2000
Minggu 11 Juni 2000 Karl Heins Reiche (35) warga negara Jerman yang diduga
memprovokasi massa di sejumlah daerah sebelum kerusuhan Poso meletus, ditangkap
petugas di salah satu hotel di Tana Toraja. Karl yang saat digerebek kepergok
memiliki sejumlah peralatan elektronik canggih itu, tidak bisa memperlihatkan
dokumen resmi (visa, paspor dan surat imigrasi lainnya), ia malah mengelabui
petugas dengan berpura-pura mau mengambil dokumen imigrasi padahal melarikan
diri.
Petugas melakukan pengejaran ke Makale Kabupaten Tator, Karl berhasil
dibekuk di perbatasan Luwu dengan Tator (12/6). Menurut Kapolwil Pare Pare
Kolonel Pol Mardjito, saat diperiksa Karl mengaku sempat mondar-modir di Palopo
dan Tator beberapa waktu lalu untuk memprovokasi massa. Karl juga mengaku
menjadi provokator di Poso dan Tentena, basis utama kelompok Merah, sebelum
kerusuhan Poso meletus. Selain Karl, aparat juga berhasil mengamankan satu dari
2 penduduk lokal yang selama ini bersama Karl memprovokasi massa. Keduanya kini
meringkuk di tahanan Polwil Parepare untuk menjalani pemeriksaan intensif.
Namun, sehari kemudian keberadaan Karl sulit diketahui, Polwil Parepare terkesan
menutup-nutupi keberadaan Karl.
15 Juni 2000
Kamis 15 Juni 2000, sehubungan dengan beredar “Buku Putih” Crisis Centre Majelis
Sinode GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah), sejumlah 36 Ormas dan OKP
Islam
mengeluarkan pernyataan bersama untuk meluruskan pernyataan-pernyataan yang
termuat di dalam “Buku Putih” tersebut, karena dianggap memutarbalikkan fakta
sebenarnya. Pernyatan bersama ini baru dipublikasikan media massa beberapa hari
kemudian, yaitu 20 Juni 2000.
Kamis 15 Juni 2000 personil TNI yang tergabung dalam Operasi Cinta Damai di
bawah BKO Polda Sulteng di sebuah gereja di Kelurahan Kasiguncu, menemukan 2
pistol rakitan dan 145 peluncur granat, beserta kelewang dan sejumlah tombak.
06 Juli 2000
Kamis 06 Juli 2000, Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Slamet Kirbiantoro kepada
wartawan di Makodam Wirabuana mengungkapkan, dari 29 aparat TNI Kodim Poso yang
diperiksa dalam kasus kerusuhan di Poso Sulawesi Tengah, 7 di antaranya terlibat
langsung saat terjadi kerusuhan, antara lain berupa memberikan bahan pangan dan
peluru ke kelompok perusuh yang mengakibatkan korban tewas semakin banyak.
Menurut Komandan Pomdam Wirabuana Kol. Sudirman Panigoro, ketujuh anggota TNI
tersebut terdiri dari 5 bintara dan 2 perwira. Pada kesempatan itu Mayjen TNI
Slamet Kirbiantoro juga mengatakan, sampai 6 Juli 2000 data yang diterima sudah
211 korban tewas yang telah ditemukan melalui beberapa kuburan massal. Banyaknya
korban yang tewas itu, menandakan benar-benar telah terjadi pembatantan.
“Bayangkan, sepanjang 45 KM di Poso semua rumah dan gedung hancur terbakar,”
ungkap Pangdam.
13 Juli 2000 (Poso)
Kamis 13 Juli 2000, terjadi pembakaran dan penjarahan secara sporadis di
Kecamatan Poso Kota, Kecamatan Lage, dan Poso Pesisir, serta sejumlah kecamatan
di wilayah Kabupaten Morowali seperti Bungku, terutama pada sejumlah rumah atau
bangunan yang ditinggal pemiliknya. Penjarahan juga terjadi di sejumlah kebun
yang ditinggalkan pemiliknya, seperti kebun cokelat dan kelapa yang tidak
dijaga.
25 Juli 2000
Selasa 25 Juli 2000 sekitar pukul 06.00 Wita, panglima perang kerusuhan Poso
Fabianus Tibo ditangkap dalam sebuah operasi intelijen Satgas Cinta Damai yang
dipimpin Komandan Batalyon II Kapten (Inf) Agus Firman Yusmono. Tibo diringkus
di tempat persembunyiannya di rumah salah seorang warga di Desa Jamur Jaya
Kecamatan Lembo (Beteleme), Kabupaten Morowali (Sulteng). Tibo dibawa ke Palu
dengan dikawal langsung Komandan Satgas Cinta Damai Kolonel (Inf) Moch Slamet
untuk diserahkan ke Polda Sulteng.
31 Juli 2000
Senin 31 Juli 2000, Dominggus Soares warga asal Timor Timur yang merupakan salah
seorang dari 10 pimpinan pasukan Kelelawar Hitam (pasukan khusus kelompok merah)
ditangkap pasukan Brimob yang dipimpin Kapolres Poso Superintendent Djasman Baso
Opu dalam operasi khusus di Desa Beteleme, Kabupaten Morowali (400 km tenggara
Palu). Sebelumnya aparat sudah menangkap Guntur (35),
Fabianus Tibo (56),
Very
(34). Pimpinan utama pasukan kelelawar hitam adalah Ir. AL Lateka yang mati
terbunuh pada peristiwa 02 Juni 2000.
24 Desember 2000
Minggu 24 Desember 2000, sejak pukul 02.00 dinihari terjadi kontak senjata
antara sekelompok penyerang (berjumlah sekitar 20 orang) dengan aparat keamanan,
di desa Seppe Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulteng. Kontak senjata yang
berlangsung sampai pukul 08.00 itu, menewaskan Juli Tarumba (47) dan Hasan
Basira (50) dan 2 orang lainnya mengalami luka berat.
05 Januari 2001
Jum’at 5 Januari 2001 terjadi serentetan penembakan oleh orang tak dikenal,
terhadap kerumunan warga Muslim di Pandiri, kampung di sebelah timur Danau Poso…
03 April 2001 (Kasus Poso IV)
Selasa 3 April 2001 pukul 04.00 Subuh Pasukan Merah menyerang dengan kekuatan
ratusan orang, masuk melalui kelurahan Sayo, 1 warga Muslim (Rina, 30) tewas
dan 1 aparat Brimob Brigadir Dua Polisi Muslimin tewas. Pukul tujuh pagi
mereka dipukul mundur oleh aparat dan para Mujahid.
05 April 2001
Kamis 05 April 2001,
Tibo (56), Dominggus (45) dan
Marinus Riwu (35) menerima vonis mati yang
dijatuhkan hakim Soedarmo SH, Ferdinandus dan Ahmad Fauzi. Tibo dkk dituduh
melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan Tibo
menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang
sejumlah 16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya
selama kerusuhan Poso berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV Sekretaris Daerah
Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai
Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, menjadi aktor
intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga
menyebutkan Tungkanan,
Limpadeli, Erik Rombot,
Angki Tungkanan sebagai aktor
yang berperan dalam kerusuhan Poso.
14 April 2001
Sabtu 14 April 2001, terjadi pembakaran sejumlah rumah ibadah di desa
Ronoruncu, tempat ibadah yang dibakar tersebut sudah tidak lagi dihuni.
16 Mei 2001
Rabu 16 Mei 2001, kantor Camat Poso Pesisir dibakar kelompok tak dikenal dan
menghanguskan seluruh bangunan serta isi kantor itu.
21 Mei 2001
Senin 21 Mei 2001, terjadi aksi penyerangan sekelompok massa Desa Kasiguncu
Kecamatan Poso Pesisir yang mengakibatkan dua orang warga setempat tewas
terkena senjata tajam dan lima orang lainnya menghilang.
10 Juni 2001
Minggu 10 Juni 2001, mobil box yang memuat alat-alat elektronik dan sejumlah
uang hasil tagihan milik Toko Jaya Teknik Makassar yang diperkirakan ratusan
juta rupiah dibakar massa tak dikenal. Akibatnya, Hendra (kernek) dan Ahmad
(sales) tewas terpanggang.
20 Juni 2001
Rabu 20 Juni 2001, H. Anto (39) dan Sudirman (35), dua warga Desa Tokorondo,
Poso Pesisir, ditembak kelompok berpakaian ninja di Desa Pinedapa, Poso
Pesisir.
27 Juni 2001
Rabu 27 Juni 2001, sedikitnya tiga orang tewas dan puluhan luka berat serta
ringan, akibat kontak senjata yang terjadi di sekitar Desa Masani, Desa
Tokorondo, Desa Sa’atu dan Desa Pinedapa, Kecamatan Poso Pesisir.
2 Juli 2001
Senin 2 Juli 2001, terjadi bentrokan massa di Malei Lage, Kecamatan Lage,
Poso. Akibatnya, 85 rumah dibakar dan satu warga tewas, serta satu rumah
ibadah (gereja) terbakar.
03 Juli 2001
Selasa Subuh 03 Juli 2001, pasukan merah membantai sekitar 14 korban terdiri
dari kaum wanita dan anak-anak dengan sadis di Dusun Buyungkatedo.
18 Juli 2001
Rabu 18 Juli 2001, sedikitnya dua orang tewas dan delapan luka-luka akibat
kontak senjata antara kelompok putih dan kelompok merah di sekitar Desa
Pendolo dan Uwelene, Kecamatan Pamona Selatan, daerah perbatasan Sulawesi
Tengah dan Sulawesi Selatan.
24 Juli 2001
Selasa 24 Juli 2001, ratusan warga muslim Poso berunjuk rasa di Markas Polda
Sulteng. Unjuk rasa berakhir kacau, setelah bom meledak di samping ruangan
Kaditserse Polda.
3 September 2001
Senin 3 September 2002, Rektor Universitas Sintuwu Maroso Poso, Drs Kogego
ditembak oleh penembak misterius di Jembatan Poso. Korban mengalami pendarahan
serius.
17 September 2001
Senin 17 September 2001, dua warga Desa Betania, Kecamatan Poso Pesisir,
Kabupaten Poso, tertembak oleh kawanan penembak misterius: Matius Bejalemba
(35), warga Desa Betania mengalami luka tembak di bagian kepala, pinggang
sebelah kiri dan lengan sebelah kiri serta Kainuddin Lubangkila (45) yang
hanya mengalami luka di bagian perut.
14 Oktober 2001
Minggu 14 Oktober 2001, bus angkutan milik PO Antariksa jurusan Palu-Tentena
diberondong tembakan oleh sekelompok orang di ruas jalan di Kecamatan Sausu,
Kabupaten Donggala, 150 kilometer arah timur Palu. Akibatnya, seorang
perempuan berusia 24 tahun tewas dan sedikitnya enam orang lainnya mengalami
luka tembak.
18 Oktober 2001
Kamis 18 Oktober 2001, bus angkutan umum milik Perusahaan Otobus (PO)
Primadona, dibakar sekolompok massa tak dikenal di sekitar Kelurahan
Kayamanya, Kota Poso. Rompa (34), warga Bungku Barat tewas akibat dianiaya dan
tertusuk senjata tajam di bagian perutnya.
23 Oktober 2001
Selasa 23 Oktober 2001, ratusan warga muslim dari Desa Mapane, Kec. Poso
Pesisir, membakar puluhan pos polisi. Aksi pembakaran itu dilatar-belakangi
adanya penangkapan terhadap 42 warga Poso untuk menjalani pemeriksaan di
Markas Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.
31 Oktober 2001
Rabu 31 Oktober 2001, puluhan rumah dan satu gereja di bakar kelompok tak
dikenal di Desa Pinedapa dan Kasiguncu, sekitar 20 kilometer arah Barat Kota
Poso.
01 November 2001
Kamis 01 November 2001, warga Desa Malitu, Poso Pesisir, tiba-tiba diserang
kelompok tak dikenal. Akibatnya, 129 rumah warga habis dibakar dan Nasa (45)
terkena tembakan di bagian paha kiri. Selain ratusan rumah terbakar, fasilitas
umum juga ikut dibakar, seperti kantor kepala desa, kantor koperasi, gedung
taman kanak-kanak, rumah ibadah (gereja), kantor PKK, rumah dinas guru dan
kepala sekolah.
08 November 2001
Kamis 08 November 2001, warga Sayo membakar truk bermuatan ikan cekalang
basah. Belakangan diketahui mobil itu memang tujuan Tentena, dikawal seorang
anggota Brimob. Di dalam mobil truk ditemukan bensin satu jirigen dan beberapa
botol aqua berisi bensin.
09 November 2001
Jum’at 09 November 2001, kontak senjata terjadi di sekitar Jembatan Dua,
perbatasan
Kelurahan Lembomawo dan Sayo, Kecamatan Poso Kota. Akibatnya, seorang warga
tewas dan dua lainnya luka-luka. Bersamaan dengan itu, di Kelurahan Sayo juga
terjadi pembakaran enam rumah dan barak.
10 November 2001
Sabtu 10 November 2001, terjadi baku tembak antara massa bertikai di dalam
kota dan massa dari luar kota Poso. Bentrokan itu menewaskan Yazet (40), dari
pihak penyerang dan beberapa orang lainnya terluka.
26 November 2001
Senin 26 November 2001, sekitar pukul 01.00 wita Gereja Bethany Poso, di Jalan
Pulau Kalimantan, Sulawesi Tengah, hancur akibat ledakan bom. Sebelum dibom,
gereja terlebih dahulu dibakar dengan menggunakan bahan bakar bensin. Tidak
ada korban jiwa, karena seluruh warga gereja sebelumnya sudah mengungsi ke
Tentena, sekitar 100 kilometer dari Poso.
27 November 2001
Selasa 27 November 2001, terjadi kontak senjata antara dua kelompok bertikai
di Desa Betalemba, Kecamatan Poso pesisir, Kabupaten Poso. Walau tidak ada
korban jiwa, kontak senjata itu menjadikan Poso kembali tegang.
03 Desember 2001
Senin 03 Desember 2001, ratusan warga Kota Poso mendatangi Markas Kodim 1307,
untuk meminta kejelasan keterlibatan anggota TNI dalam penculikan warga Toyado
sehari sebelumnya. Menurut warga, anggota TNI menculik delapan warga yang
sedang sahur di barak Toyado dan selanjutnya diserahkan ke kelompok merah.
Sempat terjadi keributan dengan pihak kepolisian yang menjaga unjuk rasa itu,
hingga kemudian terjadi penembakan yang menewaskan Sarifuddin (30), warga
Kayamanya dan empat orang lainnya luka.
19 Desember 2001
Rabu 19 Desember 2001, delapan warga Buyung Katedo, Desa Sepe, Kecamatan Lage
Poso, diserang orang tak dikenal. Untungnya, kedelapan petani yang sedang
memetik buah coklat di kebunnya, itu berhasil menyelamatkan diri.
20 Desember 2001
Kamis 20 Desember 2001, Deklarasi Malino
ditandatangani. Kelompok Islam dan Kristen yang bertikai di Poso, Sulawesi
Tengah, sepakat untuk berdamai dan menghentikan konflik. Kesepakatan itu
diperoleh setelah seluruh pimpinan lapangan dan perwakilan kedua kelompok
menandatangani perjanjian damai di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan. Kesepakatan
itu kemudian dituangkan dalam Dekralasi Malino. Deklarasi dibacakan Menko Kesra
Jusuf Kalla selaku mediator. Dalam kesempatan tersebut, kedua pihak menandatangi
kesepakatan yang terdiri dari sepuluh butir :
- Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
- Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberiansanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
- Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
- Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaandarurat sipil serta campur tangan pihak asing.
- Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak danmenegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi
terciptanya kerukunan hidup bersama. - Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warganegara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan
menghormati adat istiadat setempat. - Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sahsebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
- Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
- Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomisecara menyeluruh.
- Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip salingmenghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.
04 April 2002
Kamis 04 April 2002, dua bom rakitan meledak di daerah Desa Ratulene,
Kecamatan Poso Pesisir, tepatnya di Kantor Perusahaan Daerah Air Minum.
28 Mei 2002
Minggu 28 Mei 2002, bom rakitan meledak di tiga lokasi berbeda: di pantai
penghibur di Jalan Ahmad Yani, dekat Hotel Wisata, di pasar sentral Poso yang
mengakibatkan empat los terbakar dan di pertigaan bekas terminal Poso bom.
05 Juni 2002
Rabu 05 Juni 2002, bom yang diletakan di dalam bus PO Antariksa jurusan
Palu-Tentena meledak di sekitar Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir (sekitar 10
kilometer arah Barat jantung Kota Poso). Akibatnya, empat penumpang tewas dan
16 penumpang lainya mengalami luka. Korban tewas adalah Dedy Makawimbang (30)
dan Edy Ulin (25) yang tewas di tempat kejadian, sementara Gande Alimbuto (76)
dan anaknya, Lastri Oktaffin Alimbuto (19) tewas di RSU Poso.
01 Juli 2002
Senin 01 Juli 2002, bom berkekuatan low explosive meledak di Desa Tagolu,
Kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Tidak ada korban akibat ledakan bom itu.
12 Juli 2002
Jum’at 12 Juli 2002, bom berdaya ledak cukup kuat menghantam bus Omega jurusan
Palu-Tentena, di Desa Ronoruncu, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso dan menewaskan
seorang remaja putri, Elfa Suwita Dolia (17), warga Desa Tokilo, Kecamatan
Pamona Selatan.
19 Juli 2002
Jum’at 19 Juli 2002, Nyoman Mandiri (26) dan Made Jabir (26), dua warga Kilo
Trans, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, tewas ditembak penembak
misterius saat melintas di jalan raya di Desa Masani.
04 Agustus 2002
Minggu 04 Agustus 2002, kelompok tak dikenal menyerang Desa Matako, Kecamatan
Tojo, Kabupaten Poso. Serangan mendadak itu menghanguskan 13 rumah penduduk,
membakar dua rumah ibadah (gereja) dan melukai enam warga setempat.
08 Agustus 2002
Kamis 08 Agustus 2002, warga negara Italia, Lorenzo Taddei (34), tewas
ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan dari Tanah Toraja, Sulawesi
Selatan menuju Sulawesi Tengah, di sekitar Desa Mayoa, Kecamatan Pamona
Selatan, Kabupaten Poso. Penembakan itu juga melukai Heronimus Banculu, 36
tahun yang tertembak di bagian paha kiri, Timotoius Kemba, 52 tahun yang
tertembak di bagian lengan kanan, Karingan, 21 tahun, yang tertembak di bagian
paha kanan dan Berting, 45 tahun, yang tertembak di bagian kepala bagian kiri.
12 Agustus 2002
Senin 12 Agustus 2002, gerombolan bersenjata menyerang Desa Sepe Silanca dan
Batu Gencu di Kecamatan Lage. Akibatnya, Sulaweno, Kania, Omritakada, Salangi
dan satu orang lainnya yang belum teridentifikasi tewas dengan sekujur tubuh
terbakar. Damai Pangkunah dan Simon Tangea mengalami luka berat tertembak di
bagian dada dan paha. Selain itu, ratusan rumah hangus terbakar dan rata
dengan tanah.
16 Agustus 2002
Jum’at 16 Agustus 2002, kerusuhan Poso merambah ke Kabupaten Morowali. Terjadi
aksi penyerangan oleh kelompok tak dikenal di Desa Mayumba, Kecamatan Mori
atas Kabupaten Morowali -138 kilometer dari Poso. Aksi itu menyebabkan 43
rumah warga terbakar dan delapan kios jualan warga ikut musnah. Selain itu, L
Petra (67) mengalami luka tembak di bagian paha dan seorang balita, Erik
meninggal di pelukan ibunya.
26 Agustus 2002
Senin 26 Agustus 2002, terjadi hampir bersamaan, dua bom meledak di dua tempat
dan mengakibatkan seorang polisi, Bripda Pitriadi (21) dan satu warga sipil,
nyonya Zainun (22) mengalami luka serius. Bom pertama meledak di Jalan
Morotai, Kelurahan Gebang Rejo dan bom kedua meledak di Jalan Yos Sudarso,
Kelurahan Kasintuwu.
04 Desember 2002
Rabu 04 Desember 2002, Agustinus Baco (57) warga Desa Kawende, Kecamatan Poso
Pesisir, meninggal di tempat akibat diterjal peluru.
05 Desember 2002
Kamis 05 Desember 2002, Toni Sango (23) pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten
Poso, dan Oeter (23) tewas akibat ditembak orang tak dikenal.
26 Desember 2002
Kamis 26 Desember 2002, Kepala Desa Tokorondo, Kecamatan Poso Pesisir,
Kabupaten Poso, M Jabir (52), ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan di
Jalan Trans Sulawesi menghubungkan Gorontalo-Sulteng-Sulsel akibat tembakan.
02 Juni 2003
Senin 02 Juni 2003, Yefta Barumuju (37) penduduk dusun Kapompa, Kelurahan
Madale, Kecamatan Poso Kota tewas di tempat setelah ditembak orang tak
dikenal. Ia diterjal peluru dibagian dada dan paha kanan. Kawan korban, Darma
Kusuma (35) selamat walau rusuk dan lutut kanannya juga terkena timah panas.
07 Agustus 2003
Kamis 07 Agustus 2003, bom rakitan meledak di rumah Aisyah Ali, warga Jalan
Pulau Sabang Kelurahan Raya Manya, Kota Poso. Akibatnya, menewaskan Bahtiar
alias Manto (20) yang bekerja sebagai nelayan.
11 September 2003
Kamis 11 September 2003, bom berkekuatan cukup besar meledak di tengah
kerumunan massa persis di depan kantor Lurah Kasiguncu, Kecamatan Poso
Pesisir. Lima warga luka-luka.
10 Oktober 2003
Jumat 10 Oktober 2003, bias rusuh Poso terjadi di Desa Beteleme, ibu kota
Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali (sekitar 300 kilometer dari Kota Poso).
Puluhan orang tak dikenal menyerang desa itu dengan memakai penutup muka ala
cadar. Akibatnya, tiga warga sipil: Derina Mbai (48 tahun), Hengky Malito (36
tahun) dan Oster Tarioko (47 tahun) tewas, sementara satu warga lainnya
dilarikan ke rumah sakit setempat karena terkena tembakan di bagian kaki.
Selain itu, 27 unit rumah terbakar, tiga mobil terbaka dan tujuh sepeda motor
terbakar, serta satu unit sepeda motor hilang.
11 Oktober 2003
Sabtu 11 Oktober 2003, sekelompok orang tak dikenal menyerang empat desa:
Pantangolemba, Saatu, Pinedapa di Kecamatan Poso Pesisir dan Madale di
Kecamatan Poso Kota. Akibatnya, satu warga Desa Pinedapa, Ayub (26) tewas
seketika, sementara tujuh korban lainnya belum teridentifikasi. Penyerangan
itu juga melukai 14 warga di empat desa itu.
14 Oktober 2003
Selasa 14 Oktober 2003, situasi Poso kembali tegang menyusul sebuah bom
rakitan meledak Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, sekitar 12
kilometer dari Kota Poso.
17 Oktober 2003
Jum’at 17 Oktober 2003, kelompok penyerang Poso kembali beraksi. Kawasan Tanah
Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota diserang. Akibatnya, satu
buah bangunan bengkel kerajinan souvenir kayu ebony ludes terbakar, dapur
rumah milik Naufal dibakar, dan kaca depan rumah Anshori yang juga kantor
Yayasan Amanah berhamburan di lantai. Tapi, kejadian itu tidak memakan korban
jiwa.
11 November 2003
Selasa, 11 November 2003, bom rakitan jenis low explosive meledak di Kota
Tentena, ibukota Kecamatan Pamona Utara, wilayah basis pengungsi Kriten Poso.
Bom itu meledak di kantor agen Pengangkutan Oto (PO) Bus Omega yang melayani
penumpang jurusan Palu-Tentena.
15 November 2003
Sabtu 15 November 2003, polisi menyerbu sebuah rumah yang diperkirakan tempat
para tersangka pelaku penyerangan tanggal 11 Oktober 2003. Dari penyerbuan ini
menewaskan Hamid.
16 November 2003
Minggu 16 November 2003, ribuan massa mengepung Markas Kepolisian Resor Poso
lantaran tidak menerima kematian Hamid (18), warga Tabalu, Kecamatan Poso
Pesisir yang mati ditembak. Selain itu, polisi juga menangkap dua warga Tabalu
dan Ratolene lainnya, yaitu Zukri yang kemudian dilepas dan Irwan Bin Rais
yang masih ditahan.
17 November 2003
Senin 17 November 2003, tiga orang merusak bus dengan menggunakan linggis dan
senjata api rakitan di Desa Kuku, Kecamatan Tamona Utara, Poso.
19 November 2003
Rabu 19 November 2003, belasan orang bersenjata menyerang pos penjagaan aparat
di Dusun Taripa, Desa Toini, Kecamatan Poso Pesisir.
26 November 2003
Rabu 26 November 2003, bom rakitan yang berkekuatan rendah meledak di Jalan
Pulau Irian, Tanah Runtuh, Poso.
29 November 2003
Sabtu, 29 Npvember 2003, empat nyawa melayang dalam dua kejadian serangan
kelompok tidak dikenal berbeda, di Poso. I Made Simson dan I Ketut Sarmon
tertembak di Desa Kilo Trans Poso Pesisir, sementara Ruslan Terampi dan Ritin
Bodel tewas di Desa Rompi, Ulu Bongka Pesisir Utara.
23 Desember 2003
Selasa 23 Desember 2003, bom berdaya ledak rendah meledak di depan kantor
Lurah Lembomawo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso.
26 Desember 2003
Jum’at 26 Desember 2003, terjadi ledakan yang diperkirakan berada di
perbatasan Kelurahan Gebang Rejo dan Lembomawo, Kecamatan Poso Kota.
04 Januari 2004
Minggu 04 Jnauari 2004, Kepolisian Resor Poso menemukan tiga bom aktif di Desa
Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir.
18 Januari 2004
Minggu 18 Januari 2004, satu bom aktif ditemukan di perbatasan Kelurahan
Moengko Lama dan Kayamanya, pinggiran kota Poso.
24 Januari 2004
Sabtu 24 Januari 2004, aparat Kepolisian Resor Poso, Bharada Azis mengalami
luka tembak di bagian betis kaki kirinya setelah diberondong tiga orang
bercadar di Desa Masani, Kecamatan Poso pesisir.
27 Maret 2004
Selasa 27 Maret 2004, Christian Tanalida (37) tewas terkena aksi penembakan
misterius di Kelurahan Kawua, Kota Poso.
30 Maret 2004
Selasa 30 Maret 2004, terjadi aksi penembakan misterius yang menewaskan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sintuwu Maroso (Unsimar) Poso, Rosio Pilongo SH.MH,
di Kampus Universitas Sintuwu Maroso Poso.
13 April 2004
Selasa 13 April 2004, sehari menjelang hari Idul Fitri, terjadi ledakan bom
yang mengguncang kawasan Pasar Sentral Poso, menewaskan enam warga, meledak di
dalam angkutan kota jurusan Poso-Tentena sekitar pukul 09.20 Wita.
17 April 2004
Sabtu 17 April 2004, polisi menemukan 21 bom rakitan di Poso, tersebar di tiga
kecamatan, dua diantaranya di kecamatan Poso kota dan Poso pesisir. Bom
ditemukan di ditimbun perkebunan coklat yang sekitar rumah penduduk
18 Juli 2004
Minggu 18 Juli 2004, Pendeta Susianti Tinulele ditembak pria tidak dikenal
ketika sedang memimpin ibadah di Gereja Efatha di Jalan Banteng, Palu Selatan.
Pada kejadian itu, empat jemaat terkena luka akibat berondongan peluru, yakni
Farid Melindo (15), Christianto (18), Listiani (15) dan Desri (17). Mereka
terluka peluru di bagian lutut, pinggul, dan paha.
13 November 2004
Sabtu 13 November 2004, terjadi ledakan bom yang menewaskan enam orang dan
mencederai tiga lainnya.
03 Januari 2005
Senin 03 Jnauari 2005, terjadi ledakan bom di dekat Asrama Brimob dan hanya
menimbulkan kerusakan bangunan.
28 April 2005
Kamis 28 April 2005, terjadi ledakan dua bom di Kantor Pusat Rekonsiliasi
Konflik dan Perdamaian Poso sekitar pukul 20.00 Wita. Bom kedua meledak di
Kantor Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil pukul 22.00 Wita. Tidak ada korban
jiwa.
28 Mei 2005
Sabtu pagi 28 Mei 2005, terjadi ledakan bom pada pukul 08.15 Wita di Pasar
Tentena dan pukul 08.30 Wita di samping Kantor BRI Unit Tentena, Kecamatan
Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menewaskan sedikitnya 22 orang
dan melukai 70 orang lainnya. Bom rakitan berdaya ledak tinggi itu berisikan
potongan paku, menggunakan timer sebagai pemicu, dan batu baterai 1,5 volt
yang berfungsi sebagai arus listrik.
29 Oktober 2005
Sabtu 29 Oktober 2005, tiga siswi SMUK GKST Poso ditemukan tewas dengan tubuh
dan kepala pisah.
8 November 2005
Dua siswi SMK ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya.
30 Desember 2005
Bom meledak di Pasar Maesa, Palu Selatan. Korban tewas 7 orang dan 50 orang
luka-luka.
08 Mei 2006
Senin 08 Mei 2006, selepas shubuh empat orang anggota Densus 88 diserang warga
Poso, dua sepeda motor mereka dibakar. Keempat orang itu berhasil meloloskan
diri dari amuk warga. Saat itu, anggota Densus 88 hendak menangkap seorang
warga Kelurahan Lawanga, Kecamatan Poso Kota, Poso, bernama Taufik Bulaga (24
tahun). Penyerangan itu sebagai bentuk ketidaksukaan warga terhadap Densus 88
yang suka seenaknya menangkap orang.
03 Agustus 2006
Kamis 03 Agustus 2006, sekitar pukul 20.45 Wita terjadi ledakan cukup keras di
sekitar Kompleks Gedung Olah Raga Poso, Jalan Brigjen Katamso, Kelurahan
Kasintuwu, Poso.
31 Agustus 2006
Kamis 31 Agustus 2006, Brigadir Jenderal Polisi Oegroseno menyerahkan jabatan
Kepala Polda Sulawesi Tengah kepada Komisaris Besar Badrudin Haiti di Mabes
Polri. Kepala Polri Jenderal Sutanto selanjutnya menempatkan Oegroseno sebagai
Kepala Pusat Informasi dan Pengolahan Data Divisi Telematika Mabes Polri.
22 September 2006
Jum’at 22 September 2006, Tibo dkk dieksekusi mati.
from Liputan 6 )
29 September2006
Jumat siang 29 September 2006, terjadi empat ledakan bom yang disusul pecahnya
kerusuhan massa di Taripa, Kecamatan Pamona Timur. Sekitar 500 orang mengamuk
dan merusak fasilitas polisi, membakar pos polisi, membakar truk dan mobil
patroli aparat keamanan, membakar beberapa sepeda motor, dan melempari
helikopter milik kepolisian. Kemarahan massa dipicu kekecewaan karena Kepala
Polda Sulawesi Tengah menolak berdialog dengan mereka perihal eksekusi Tibo
Cs.
from Liputan 6 )
30 September 2006
Sabtu 30 September 2006 sekitar pukul 22:00 WITA, bom meledak di dekat Gereja
Maranatha, Kelurahan Kawua. Satu jam kemudian bom meledak di dekat Kantor
Camat Poso Kota Selatan di Jalan Tabatoki. Juga terjadi pelemparan granat oleh
dua orang tak dikenal terhadap kerumunan orang di Kelurahan Kawua, Kecamatan
Poso Kota.
01 Oktober 2006
Minggu malam 01 Oktober 2006, kelompok berpenutup kepala ala ninja beraksi,
menghadang mobil sewaan di rute Parigi-Makassar yang berhenti karena terhalang
bangkai sepeda motor. Ninja membacok punggung dan menghantam kepala Jelin, 20
tahun, dengan benda keras dalam insiden di Kelurahan Kayamanya, Kecamatan
Poso, itu. Penghadangan juga dialami Ebiet, pekerja perusahaan pemasok tabung
gas elpiji. Ebiet sempat diculik selama dua hari di Pamona Selatan, sekitar 60
kilometer dari Poso.
16 Oktober 2006
Senin 16 Oktober 2006, Pendeta Irianto Kongkoli Sekretaris Umum (Sekum) Sinode
GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) ditembak mati oleh orang tak dikenal di
kawasan Jalan Monginsidi, Kelurahan Lolo Selatan, sekitar pukul 08;15 Wita.
Ketika itu, korban yang ditemani istri (Iptu Rita Kupa) dan anaknya Gemala
Gita Evaria (4) hendak berbelanja bahan bangunan (tegel) di Toko Sinar Sakti.
Korban langsung di larikan ke rumah sakit (RS) Bala Keselamatan sekitar 500
meter dari tempat kejadian perkara (TKP), namun jiwanya tidak berhasil
diselamatkan. Sementara Ny Rita dan anaknya Gea berhasil lolos dari musibah
berdarah itu. Pendeta Irianto Kongkoli direncanakan menggantikan Pendeta
Rinaldy Damanik yang mengundurkan sebagai Ketua Majelis Sinode Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) setelah terpidana mati kasus Poso Tibo cs dieksekusi
mati. 6 )
18 Oktober 2006
Rabu 18 Oktober 2006, jenazah Pendeta Irianto Kongkoli sekitar pukul 10.00
Wita disemayamkan di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GSKT) Anugerah Masomba
yang terletak dibilangan Jln Tanjung Manimbaya. Acara pelepasan dan pemakaman
dipimpin langsung oleh Pendeta Isak Pole Msi (Ketua I Majelis Sinode GKST).
21 Oktober 2006
Sabtu 21 Oktober 2006, kerja keras tim penyidik Kepolisian Daerah Sulawesi
Tengah (Polda Sulteng) dibantu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes
Polri berhasil membawa 11 orang untuk diperiksa sehubungan dengan kasus
penembakan Pendeta Irianto Kongkoli.
22-23 Oktober 2006
Minggu 22 Oktober 2006 dan Senin 23 Oktober 2006, terjadi bentrokan antara
anggota Brigade Mobil (Brimob) dengan warga Kelurahan Gebangrejo, Kota Poso.
Bentrokan pada malam Idul Fitri itu terjadi karena polisi tidak sensitif
terhadap umat Islam. Akibatnya, seorang warga tewas, tiga lainnya luka-luka
(termasuk seorang anak berusia empat tahun), sebuah mobil polisi dan beberapa
sepeda motor terbakar.
27 Oktober 2006
Jum’at 27 Oktober 2006, SBY bertolak ke China melalui bandara Halim Perdana
Kusumah.
08 November 2006
Senin 08 November 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai mengadili
Hasanuddin (34), salah seorang terdakwa pembunuh tiga siswi SMA di Poso yang
terjadi 29 Oktober 2005. Tim jaksa yang diketuai Payaman mendakwa Hasanuddin
sebagai perencana pembunuhan Alfita Poliwo, Theresia Morangki, dan Yarni
Sambue.
14 November 2006
Selasa 14 November 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri. Setelah
diperiksa tiga hari, Andi dilepas. ( Klik streaming
from Liputan 6 )
28 November 2006
Selasa 28 November 2006, Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir, dua di antara
29 orang pada daftar pencarian orang Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah,
menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Poso. ( Klik streaming
from Liputan 6 )
11 Januari 2007
Pada Kamis 11 Januari 2007, sekitar pukul Pukul 06.00 WITA, Densus 88 dan dua
SSK Brimob Sulteng menggeledah rumah Basri (DPO) di Jl Pulau Jawa II Kelurahan
Gebangrejo, Poso Kota. Karena tak menemukan orang yang dicari, aparat
melanjutkan pencarian ke rumah Yadit (DPO) yang terletak sekitar 50 meter
meter dari rumah Basri. Di rumah Yadit, aparat menemukan Dedi Parshan (DPO)
yang sedang tertidur.
Pukul 6.30 WITA, Dedi yang berusaha melarikan diri tewas dengan rentetan
tembakan di bagian lengan kanan dan kiri dan terlihat luka tusukan di dada.
Sekitar 300 m dari rumah Yadit, tepatnya di pesantren Al Amanah, Tanah Runtuh,
ratusan polisi mengepung dan menembak mati ustadz Riansyah di bagian kepala.
Sementara ustadz Ibnu yang juga pengajar pesantren Al Amanah, luka tertembak
di bagian perut dan punggung.
Penyergapan melibatkan dua tim CRT (Cepat Reaksi Tanggap) Polres Poso,
diperkuat dua SSK (Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Polda Sulteng.
Hasilnya, lima dari 29 warga yang ditetapkan dalam DPO itu ditangkap. Mereka
adalah Dedi Parshan (28), Anang Muhtadin alias Papa Enal (40),
Upik alias
Pagar (22), Paiman alias Sarjono (33), dan Abdul Muis (25). Anang, Upik dan
Muis mengalami luka tembak di beberapa bagian tubuh mereka.
Kematian Ustadz Riansyah membuat warga marah. Bripda Dedy Hendra anggota
Polmas (Polisi Masyarakat) di Kelurahan Tegal Rejo yang mengendarai sepeda
motor seorang diri, melntas di TPU Lawanga saat prosesi pemakanan terhadap
Ustadz Riansyah berlangsung. Puluhan pelayat yang masih tersulut emosi akibat
kematian Ustadz Riansyah segera melakukan pencegatan. Dedi dihakimi hingga
tewas di tempat. Jenazah Bripda Dedy Hendra setelah disemayamkan di Mapolres
Poso, diterbangkan ke Bandung (Jawa Barat) pada Jumat pagi (12 Jan 2007)
menggunakan pesawat khusus milik Polri.
Sebelumnya, November 2006 lalu, sudah ada tiga dari 29 DPO yang menyerahkan
diri. Pada Selasa 14 Nov 2006, Andi Lalu alias Andi Bocor menyerahkan diri.
Setelah diperiksa tiga hari, Andi dilepas. Dua pekan kemudian, Selasa 28 Nov
2006 Iskandar alias Ateng Marjo dan Nasir menyerahkan diri ke Kepolisian Resor
Poso.
Dengan demikian, sejak November 2006 hingga 11 Januari 2007, sudah ada 8 dari
29 DPO yang berhasil diamankan aparat.
14-15 Januari 2007
Minggu malam (14 Jan 2007) hingga Senin dini hari (15 Jan 2007), terjadi
ketegangan antara anggota polisi dengan sekelompok warga. Maka, pengamanan
diperketat dengan menyebar pasukan dalam jumlah yang lebih banyak di
titik-titik strategis. Belasan anggota polisi bersenjata lengkap disiagakan di
ruas-ruas jalan utama dalam kota Poso, padahal pada hari biasanya jumlah
anggota polisi yang disiagakan kurang dari lima orang. Selain itu, puluhan
kendaraan taktis berisi pasukan bersenjata juga mengintensif patroli dalam
kota Poso. Beberapa kendaraan taktis diparkir di ruas-ruas jalan yang dinilai
rawan seperti di Jalan Pulau Bali, Pulau Serang, Pulau Irian dan Pulau
Sumatera.
15 Januari 2007
Senin sore (15 Jan 2007), aparat keamanan di kota Poso kembali bersitegang
dengan sekelompok warga di Jalan Pulau Irian Kelurahan Gebang Rejo. Warga
Jalan Pulau Irian mulai terkonsentrasi sejak pukl 15:00 Wita, saat polisi
meningkatkan pengamanan dengan mengerahkan beberapa kendaraan taktis ke
kawasan tersebut. Sekitar pukul 18:15 Wita, mulai terdengar rentetan letusan
senjata api disertai bunyi tiang listrik dipukul-pukul membuat sebahagian
warga berlarian menuju arah Jalan Pulau Irian. Suara letusan senjata api dan
dentuman tiang listrik terdengar hingga pukul 19:00 Wita, bahkan sesekali
terdengar suara ledakan keras yang diduga kuat bersumber dari bom rakitan di
sekitar Kelurahan Gebang Rejo dan Kelurahan Kayamanya. Aliran listrik di Jalan
Pulau Sumatera sempat padam, sementara warga di Jalan Pulau Irian, Jalan Pulau
Jawa dan Jalan Pulau Madura sengaja memadamkan aliran listrik. Sekelompok
warga di ketiga jalan yang berada dalam wilayah Kelurahan Gebang Rejo ini juga
membuat blokade di ruas jalan dengan menaruh benda-benda keras seperti batu,
kayu dan drum. Hingga pukul 22.00 wita suara tembakan belum mereda. Tidak ada
korban jiwa.
16 Januari 2007
Hingga Selasa siang (16 Jan 2007), situasi tegang dan mencekam masih terus
dirasakan. Penyerangan atas Polres Poso oleh sekelompok waga berlangsung
semalam suntuk, menggunakan berbagai jenis senjata api, termasuk bom.
Kapolda Sulawesi Tengah, Brigjen Pol Drs Badrodin Haiti, mengeluarkan maklumat
tertanggal 16 Januari 2007, berisi perintah antara lain melakukan tindakan
tegas hingga tembak di tempat kepada siapa pun yang memiliki, menyimpan,
atau membawa senpi dan bahan peledak tanpa otoritas yang sah. Menurut Kabid
Humas Polda Sulteng, AKBP M Kilat, masyarakat yang memiliki, menguasai atau
menyimpan senpi, amunisi, serta bahan peledak dengan tanpa hak juga diminta
untuk segera menyerahkan kepada aparat berwajib secara sukarela. Dasar
dikeluarkannya maklumat tersebut sudah jelas antara lain UU No 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian RI, UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No 12 Tahun 1952
tentang senjata api dan bahan peledak, Peraturan Polda Sulteng Tahun 2006
tentang batas akhir penyerahan senpi, amunisi dan bahan peledak secara
sukarela di wilayah Sulteng.
Maklumat tersebut mendapat kecaman dari Ketua BMMP (Barisan Muda Muslim Poso)
Drs Zulkifli Kay, yang menilai maklumat itu terlalu berlebihan. Kay juga
mengatakan, maklumat tembak di tempat memberi kesan telah terjadi konflik
terbuka dengan eskalasi yang luas, sehingga membuat situasi keamanan di Poso
tidak terkendali.
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Sisno Adiwinoto, sehubungan dengan maklumat
tersebut menyatakan, di dalam prosedur Polri tidak dikenal istilah tembak di
tempat. Setiap anggota polisi, telah dibekali pengetahuan kapan saatnya dapat
menggunakan senjata apinya. Tanpa perintah tembak di tempat, setiap anggota
polisi harus tahu kapan tepatnya harus menarik pelatuk senjata apinya. Dengan
keluarnya perintah itu, kalau terjadi sesuatu yang berakibat hukum dan harus
berhadapan dengan divisi propam, merupakan risiko Kapolda Sulteng.
18 Januari 2007
Kamis pagi tanggal 18 Januari 2007, sebuah bom hampa berdaya ledak rendah
meledak di Jalan Pulau Sumbawa Kelurahan Gebang Rejo kota Poso, Sulawesi
Tengah (Sulteng). Bom meledak sekitar pukul 09:20 Wita di dalam saluran air,
tepatnya di belakang Kantor PT Bank Sulteng Cabang Poso atau sekitar 100 meter
dari Mapolres Poso dan Pasar Sentral Poso yang terletak di Jalan Pulau
Sumatera. Kapolres Poso AKBP Drs Rudi Sufahriadi mengatakan, bom jenis low
explosive itu terbuat dari (casing) botol air mineral dengan bahan sulfur dan
florat. Pelakunya diduga dari kelompok yang selama ini menjadi buron polisi
dengan ciri-ciri rambut gondrong dan berpostur tinggi besar. Tidak ada korban
jiwa, hanya sempat membuat kaget sebagian pedagang dan pengunjung di Pasar
Sentral Poso. Aktivitas masyarakat secara umum berlangsung normal.
Kamis malam tanggal 18 Januari 2007, terjadi ledakan bom di dua tempat.
Ledakan pertama terjadi di Jalan Pulau Aru, Kelurahan Gebangrejo sekitar pukul
18:00 Wita, tepatnya di belakang Gereja Eklesia Poso. Ledakan tersebut sempat
membuat warga di sekitar gereja panik meski tidak ada korban jiwa. Ledakan
kedua terjadi di Jalan Pulau Sumatera sekitar pukul 22:30 Wita yang berlokasi
di depan Pasar Sentral Poso. Lokasi ledakan tersebut hanya berjarak sekitar
100 meter dari Mapolres Poso. Ledakan kedua membuat aktivitas jual beli di
pasar terganggu. Para penjual dan pembeli memutuskan pulang lebih awal untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Kedua ledakan tersebut tidak
menimbulkan korban jiwa hanya sempat membuat panik beberapa warga di sekitar
lokasi.
20 Januari 2007
Sabtu, 20 Januari 2007 sekitar pukul 13:30 Wita, ditemukan sebuah bom rakitan
ukuran panjang sekitar 15 centimeter dengan diameter berkisar lima centimeter,
di pinggiran jalan bagian depan Gereja Advent di Kelurahan Kasintuwu, Poso
Kota, Sulawesi Tengah (Sulteng). Menurut Kapolres Poso AKBP Drs Rudi
Sufahriadi, bom aktif yang belum meledak dan berada dalam kantong plastik
berwarna hitam itu berhasil diamankan petugas Jihandak, dan segera dibawa
dengan mobil khusus ke Markas Brimob Polda Sulteng di Kelurahan Moengko untuk
diledakkan.
22 Januari 2007
Senin 22 Januari 2007, situasi kota Poso memanas sejak sekitar pukul 08:30
Wita, terdengar suara rentetan tembakan di Jalan Pulau Irian Kelurahan
Gebangrejo, Poso Kota. Hasilnya, dua warga Poso bernama Paijo (40) dan Kusno
(35) mengalami luka tembak karena peluru nyasar akibat peristiwa baku tembak
antara pihak kepolisian dan para Daftar Pencarian Orang (DPO) Poso di Jalan
Irian, Poso Kota. Paijo yang berprofesi sebagai tukang ojek menderita luka
tembak di lengan kiri bagian atas sedangkan Kusno (penjual bakso) mederita
luka tembak di kepala bagian atas, keduanya sempat mengalami perawatan di RSUD
Poso. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP M Kilat SH MH, anggota kepolisian
Ipda Maslikan menderita luka tembak di bagian paha, dan langsung dilarikan ke
Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah.
Bentrokan antara aparat dengan warga yang terjadi 22 Januari 207 sekitar pukul
07.30 WITA hingga 16.00 WITA, berlangsung di beberapa lokasi, yaitu Jalan
Pulau Nias, Jalan Pulau Sabang, Jalan Pulau Mentawai di Kelurahan Kayamanya.
Di Kelurahan Gebang Rejo tersebar di Jalan Pulau Kalimantan, Pulau Irian,
Pulau Seribu, Pulau Seram, dan Pulau Jawa. Serta di perbukitan hutan jati yang
berada di perbatasan Kelurahan Gebangrejo dan Desa Lembomawo. Dari bentrokan
ini jatuh korban tewas antara lain Ustadz Mahmud, Ustadz Yakub, Ustadz Idrus,
dan seorang warga yang akrab disapa Om Gam.
Insiden bakutembak di Jalan Pulau Kalimantan Kelurahan Gebang Rejo
mengakibatkan empat anggota Brimob terkena peluru senjata api, seorang di
antaranya bernama Bripda Rony Iskandar tewas dengan luka tembak di bagian
kepala. Pangkat Ronny dinaikkan menjadi Briptu anumerta. Sedangkan sedangkan
korban luka selain Ipda Muslihan, juga Bripda I Wayan Panda (anggota Brimob),
Bripda Wahid, Brigadir Dudung Adi (anggota Brimob), Brigadir Kosmas (anggota
CRT Mabes Polri). Rony adalah anggota Brimob yang di-BKO di Densus 88 Anti
Teror Polda Sulteng. Sedangkan Muslihan adalah anggota Densus 88, dan Bripda
Wahid adalah anggota Brimob Sulteng. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng AKBP
Muhammad Kilat, Selasa 23 Jan 2007, korban tewas dari kelompok bersenjata
berjumlah 13 orang.
Identitas 13 korban tewas itu adalah Tengku Irsan alias Icang, Ridwan alias
Duan, Firmansyah alias Firman (Siswa MTs Negeri Poso) luka tembak di bagian
perut, Nurgam alias Om Gam (luka tembak di bagian kepala), Idrus Asapa, Toto,
Yusuf, Muh Sapri alias Andreas, Aprianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono,
dan Ridwan Wahab alias Gunawan, Ustadz Mahmud (luka tembak di kepala).
Dari 13 anggota kelompok bersenjata yang tewas hanya satu orang yang masuk
dalam DPO, yaitu Icang. Tengku Firsan alias Icang, diduga aparat sebagai
perakit hampir semua bom yang diledakkan di Poso dan Palu. Icang juga diduga
aparat terlibat peledakan bom di Pasar Sentral Poso, peledakan bom di Pasar
Maesa, Palu, dan penembakan lima anggota Brimob di Ambon pada tahun 2005.
23 Januari 2007
Selasa 23 Januari 2007, menurut Kadiv Humas Polri Irjen Sisno Adiwinoto, tiga
orang yang masuk dalam DPO menyerahkan diri. Mereka adalah Iswadi alias Is,
Yasin alias Utomo, dan Faizul alias Takub. Sementara itu, sebanyak dua SSK
(Satuan Setingkat Kompi) anggota Brimob Kelapa Dua Jakarta dikerahkan ke Poso,
Sulawesi Tengah (Sulteng), untuk memperkuat pengamanan di wilayah yang sepekan
terakhir kembali memanas. Pasukan elit Polri ini dipimpin Kompol Gatot selaku
Kepala Detasemen serta AKP Muhammad Tedjo dan Iptu Iwan masing-masing sebagai
Komandan Kompi. Sebelumnya sudah ada sembilan SSK pasukan Brimob kiriman yang
di BKO (Bawah Kendali Operasi)-kan di Mapolres Poso. Dengan demikian total
seluruh pasukan Brimob BKO di daerah konflik itu sebanyak 11 SSK atau sekitar
1.100 personil. Sedangkan jumlah personil Polisi dan TNI organik maupun
nonorganik di Poso, termasuk di Kabupaten Tojo Unauna dan Morowali (daerah
pemekaran Poso) berkisar 5.000 orang.
Saksi Poso Berbicara Di Jakarta
laporan Syarifuddin AmbalawiHanya
selang 2 hari setelah sweeping Brimob terhadap 16 muslim Poso yang
termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang menyebabkan tewasnya
belasan penduduk sipil muslim Poso 22 Jan 2007 lalu, Ust. Ahmad kemudian
diutus oleh Ust. Adnan Arsal, tokoh agama Islam Poso setempat, untuk
ke Jakarta melaporkan fakta sebenarnya. Kamis, 25 Jan 2007, Ust. Ahmad
didampingi beberapa tokoh Forum Umat Islam, termasuk Ust. Abu Bakar
Ba’asyir dari Majelis Mujahidin Indonesia dan Habib Rizieq dari Front
Pembela Islam, mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan fakta.
Rekaman Video Yang MenjijikkanRekaman
video kekejaman ‘Kristen Radikal’ pada masa sebelum kesepakatan Malino
dipersaksikan. Tampak belasan mayat anak kecil Muslim sedang
dikumpulkan, diantaranya ada anak balita yang 1/3 tempurung kepala
bagian atasnya lepas terbacok rata (kemudian disambungkan lagi), usus
terburai dan anak kecil lainnya yang punggung atau bahunya terbelah
lebar dan dalam bekas bacokan. Disisi lain tampak pula mayat-mayat orang
dewasa termasuk para wanita dewasa. Mayat seorang ibu terlihat
pergelangan tangannya putus rata dibacok dengan senjata yang sangat
tajam yang menyebabkan bekas bacokannya sangat ‘rata’.
Suatu
rekaman video penutup akhirnya diputarkan yang menyebabkan teriakan
ledakan marah para pemuda ormas Islam yang ikut hadir disertai teriakan
histeris para wartawan yang ikut menyaksikan.
Dalam
rekaman ini tampak seorang pemuda muslim Poso sedang dikeroyok oleh
sekelompok pemuda Kristen Radikal (istilah yang dikemukakan Habib
Rizieq untuk membedakannya dengan umat Kristen umum). Sebuah golok
telah menyabet kulit kepala pemuda tersebut hingga terkelupas selebar
dan setebal kue serabi, sehingga terlihat daging berwarna putih dan
kelupasan kulit kepala yang masih menggantung di kepalanya
terumbai-umbai ketika ia bergerak kesana kemari. Pemuda muslim ini
terlihat masih bisa berdiri dan teriak-teriak minta tolong pada polisi
bersenjata lengkap yang ada disekitarnya namun tak berdaya atau tak
berani atau tak mau bertindak tegas. Beberapa pemuda Kristen Radikal
terlihat masih terus memukulnya dengan kayu, sementara seorang pemuda
lainnya menombak dada kiri pemuda malang tersebut dengan sebilah bambu
runcing. Pemuda tersebut melepas tombak bambu itu dengan tangannya,
lalu dengan kepala yang berlumuran darah, kulit kepala terkelupas, baju
penuh darah, ia berjalan terhuyung menuju mobil polisi yang ada 3
meter disampingnya. Sesaat terlihat kelupasan kulit kepala pemuda
tersebut masih melambai tergantung diatas telinganya akibat gerakan
tubuhnya. Seorang polisi yang ada dalam mobil tersebut mengusirnya
ketika pemuda malang itu minta perlindungan, mungkin polisi itu jijik
mempersilahkannya masuk ke mobil atau bisa juga ia takut melindungi
pemuda itu sementara puluhan pemuda Kristen Radikal sedang memukulinya.
Walau akhirnya pemuda malang tersebut bisa diselamatkan ke sebuah
mobil patroli bak terbuka polisi, namun dari sekitar 20 – 30 polisi
yang ada di lokasi hanya 1-2 orang yang terlihat berusaha melerai,
namun dengan cara seadanya.
Andi Baso,
tokoh penandatangan Perjanjian Malino, yang ikut hadir menjelaskan
bahwa itu masih belum apa-apa dibanding laporan yang ia terima dimana
beberapa wanita dewasa di suatu desa di Poso diperkosa para Kristen
Radikal dan beberapa diantaranya kemaluannya dimasukkan botol dengan
paksa, ditendang kemaluannya, dan lalu sebagian mati ditempat. Kabar
lain mengatakan Tibo pernah menyembelih seorang anak kecil dan meminum
darahnya yang sedang mengalir dari lehernya langsung ke mulutnya.
Kecemburuan Sosial Sebagai Sumbu Perang Antar Umat Beragama Poso
Menurut
Andi Baso, pemicu awal perang Poso adalah kecemburuan sosial dari umat
Kristen terhadap kemajuan umat Islam di Poso. Warga Kristen Poso sudah
biasa menenggak minuman keras sehingga bangun telat, ke ladang telat,
kerja telat, akhirnya ekonomi memburuk. Sedang warga muslim, ditambah
pengaruh transmigran muslim dari Jawa, yang selalu bangun subuh untuk
sholat subuh, lalu berangkat kerja sejak subuh, lantas lebih cepat
maju. Akibat kemajuan ekonomi umat Islam, lantas lebih banyak mesjid
dibangun, lalu uang lebih banyak tersedia untuk beli pengeras suara.
Kemajuan rumah ibadah dan pengeras suara ini merupakan friksi awal yang
memulai kecemburuan sosial. Secara logika dalam situasi seperti ini
provokasi dari luar lebih mudah meledakkan umat Kristen, sebaliknya
tidak ada artinya provokasi bagi umat Islam yang tidak memiliki
kecemburuan sosial.
Perjanjian MalinoDitandatanganinya
Perjanjian Malino adalah langkah akhir pihak Kristen Radikal untuk
‘menyerah’ akibat kemenangan umat Islam yang dipimpin oleh sebagian
diantaranya adalah para 16 DPO muslim yang kini dicari-cari polisi.
Kalau saja Kristen Radikal tidak kalah rasanya tidak akan mau mereka
menandatangani perjanjian Malino ini. Jadi bagi mereka Perjanjian Malino
menjadi semacam alat untuk melindungi mereka dari kehancuran yang
lebih besar lagi dalam perang antar umat beragama ini. Hal ini terbukti
bahwa Perjanjian Malino dijadikan alat untuk mengulur waktu bagi
mereka untuk menyusun kekuatan menyerang balik. Dan serangan balik ini
benar-benar akhirnya terjadi.
Pasca Hukuman Mati Tibo Cs : Berubah Menjadi Perang Dengan Aparat Brimob & TNI
Kekejaman
umat Kristen Radikal yang antara lain dipimpin oleh Tibo Cs telah
menewaskan lebih dari 2000 umat Islam Poso. Perjanjian Malino
ditandatangani, dan Tibo Cs dihukum mati. Umat Islam lega, tapi hanya
sebentar. Karena pembantaian masih terjadi.
Kesepakatan
Malino dinodai, ketika senjata diserahkan ke kepolisian, umat Islam
pun diserang lagi. Umat Islampun membalas. Bom meledak, pelajar
dibunuh, dan sebagainya. Kepolisian kemudian menetapkan 16 Daftar
Pencarian Orang (DPO) muslim Poso yang dianggap sebagai penyebab.
Penetapan 16 DPO inilah yang lantas merubah peta perang yang tadinya
antara Kristen Radikal dengan umat Islam Poso menjadi antara Aparat
Kepolisian & TNI dengan umat Islam Poso. Kristen Radikal pun undur
sejenak, diperkirakan mereka menyimpan senjatanya sementara.
Umat
Islam Poso berjanji akan menyerahkan 16 DPO muslim asalkan 19 tokoh
Kristen Radikal (termasuk Pendeta Damanik) yang disebutkan Tibo Cs
sebagai dalang penggerak Kristen Radikal agar juga diperiksa. Ini
prinsip keadilan. Syarat lain yang mereka kemukakan adalah agar DPO
diperiksa sebagai tersangka bukan sebagai pesakitan. Sangat sulit bagi
keluarga DPO dan warga muslim Poso untuk menyerahkan 16 DPO ini karena
kenyataannya beberapa saudara kandung DPO yang diciduk saja disiksa
lalu mati dibunuh (namun polisi mengatakannya mati karena sakit). Kalau
saudaranya si DPO saja disiksa dan dibunuh, bagaimana pula dengan DPO
nya sendiri. Ketika berita di media massa melaporkan bahwa belasan
muslim penyerang Brimob berhasil ditembak polisi, sungguh ini berita
bohong. Menurut kesaksian mereka, yang terbunuh ada yang wanita dan
anak-anak. Bahkan ketika dikatakan ada pelindung DPO yang terbunuh,
sebenarnya mereka sudah diciduk beberapa hari sebelumnya, kemungkinan
dibawa kesana untuk dibunuh sehingga solah-olah terbunuh saat baku
tembak.
Di stasiun TV kita lihat
minggu lalu sekitar 8 orang penduduk sipil yang melapor karena disiksa
oleh Kepolisian karena tinggal di wilayah DPO. Ustadz Ahmad sendiri
menyaksikan seorang temannya ditembaki polisi, dan ketika ia menanyakan
alasannya, polisi (Brimob) mengatakan alasannya karena ia memukul-mukul
tiang listrik. Apakah memukul tiang listrik suatu tindakan kejahatan ?
Ketika dikejar terus dengan protes, pak Polisi hanya bilang ini
keputusan politik, bukan keputusan kami. Lha.. Ini cermin tindakan
berlebihan Brimob dan TNI terhadap umat Islam. Kenapa tindakan tegas
tidak mereka dilakukan ketika pemuda muslim Poso dikeroyok, ditombak dan
dibacok di depan polisi hingga kulit kepalanya terkelupas
terumbai-umbai.
Kasus Poso Tidak Boleh Diputihkan
Habib
Rizieq yang hadir di Komnas HAM mengatakan bahwa ia menolak keras
sikap Wapres Jusuf Kalla yang hanya menindak tegas setiap pelaku
kerusuhan pasca Perjajian Malino. Sikap ini berarti mengganggap bahwa
kasus sebelum Malino diputihkan alias tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Tidak ada kasus kriminal yang boleh diputihkan, katanya. Perhatikan,
bahwa masa sebelum Perjanjian Malino adalah masa pembantaian 2000 umat
Islam oleh Kristen Radikal dibawah kendali 19 orang yang disebutkan
Tibo Cs.
Bagaimana kematian 2000
umat Islam Poso dianggap tidak pernah ada. Sedangkan masa Pasca Malino
adalah masa terjadinya kasus pembalasan umat Islam (16 DPO) terhadap
Kristen Radikal akibat pelanggaran mereka terhadap Perjanjian Malino
(penyerangan perkampungan muslim).
Ketika
Habib Rizieq diminta pemerintah menengahi kasus Poso dan 16 DPO ini,
ia mendengar dari seorang ibu yang anaknya termasuk seorang DPO, bahwa
16 DPO siap menyerahkan diri asal dengan syarat 19 daftar nama Kristen
Radikal yang disebut Tibo Cs juga diproses, syarat kedua, ada jaminan
tidak disiksa. Ibu itu berkala lagi, baginya lebih senang menerima
mayat anaknya mati terbunuh di medan perang dari pada menyaksikan
anaknya kembali dari Kepolisian dalam keadaan cacat akibat disiksa.
Ingat, DPO adalah tersangka, artinya belum tentu mereka bersalah,
karena masih harus melalui proses pengadilan untuk membuktikannya.
Media Massa pun Ikut Tidak AdilKetika
belasan umat Islam Poso tewas dalam serangan Brimob ke perkampungan
muslim untuk mencari para DPO, sementara itu hanya 1 orang anggota
Brimob yang tewas, maka hampir semua media massa memberitakan kesedihan
yang meliputi keluarga sang Brimob. Bahkan berita dukacita kematian
anggota Brimob ini dibahas tuntas hingga ke kehidupan pribadinya selama
ini dan kemudian diulang-ulang dalam setiap pemberitaan berikutnya
dalam durasi yang panjang. Seandainya penderitaan, penyiksaan dan
kekejaman terhadap umat Islam Poso dapat ditayangkan seluruhnya secara
lengkap di TV, maka saya yakin tak ada seorangpun yang tertarik lagi
menonton infotainment.
Sementara
itu ketika rekaman video yang disebut diatas ditayangkan di Komnas
HAM, puluhan wartawan yang hadir berteriak histeris atau meringis
jijik. Namun malamnya atau sorenya, ketika kunjungan ke Komnas HAM
diberitakan, isinya hanya menyatakan bahwa ‘sekelompok umat Islam yang
menamakan dirinya Forum Umat Islam mendatangi Komnas Ham untuk meneliti
kasus Poso’ . Lantas wawancara yang disiarkanpun adalah wawancara
terhadap salah satu wakil Komnas HAM, yang komentarnya akan mempelajari
kasus ini karena mereka harus menerima informasi dari berbagai sumber.
Ketika menampilkan orang yang sedang berdemopun hanya ditampilkan 4 – 5
orang yang berseragam hitam-hitam, padahal peserta demo hari itu ada
sekitar 150 orang dari FPI, HT, Bulan Bintang dan MMI. Sungguh mereka
tidak menampilkan pernyataan keras Ust. Abu Bakar Ba’asyir yang
mengatakan siap menyerukan jihad umum kepada seluruh umat Islam
Indonesia bila penyelesaian Poso tidak adil. Atau pernyataan Habib
Rizieq yang menuntut Komnas HAM mengajukan Yufus Kalla dan mantan
kepala BIN, Hendropriyono, agar diperiksa karena melindungi kejahatan
terhadap umat Islam.
Apalagi
harian Kompas, yang memberitakan tokoh Muslim Poso, Ust. Adnan Arsal,
menganjurkan 16 DPO menyerahkan diri. Tapi Kompas tidak ada atau tidak
lengkap menuliskan syarat-syarat yang dikemukakan Ust. Adnan Arsal agar
DPO mau menyerahkan diri.
Jusuf Kalla dan Logika Peran Tokoh Islam
Perhatikan
logika ini dengan baik ! Masalah Poso dalam kacamata Islam harus
diselesaikan dengan pendekatan Nahi Munkar (memberantas kejahatan),
bukan sekedar Amar Ma’ruf (mengajak berbuat baik). Sabtu malam, 27
Januari 2007, Wapres Yusuf Kalla mengundang tokoh Islam untuk
mendiskusikan penyelesaian Poso. Setelah selama ini pak Yusuf ini
mendengar laporan Poso dari sisa-sisa informasi dari Ketua BIN yang
lama, Hendropriyono (yang pernah tersangkut kasus pembantaian Muslim
Lampung), maka rupanya pak Yufuf ini mencoba mencari solusi dialog
dengan tokoh Islam. Ia sendiri yang mendefinisikan siapa tokoh Islam
yang pantas menyelesaikan masalah semacam ini.
Secara
logika, maka seharusnya yang diundang adalah ahli nahi munkar atau
tokoh ormas Islam yang bergerak dibidang nahi munkar, antara lain FPI,
MMI, FUI, dan lain-lain. Lucunya yang diundang adalah tokoh organisasi
amar makruf dan organisasi politik Islam, seperti NU, Muhammadiyah,
PKS, dll. Bahkan diundang juga tokoh ‘intelektual’ muslim semacam
Komarudin Hidayat dan Syafi’i Maarif. Kalaupun Ja’far Umar Thalib
(mantan Panglima Laskar Jihad) diundang dalam acara ini, tentulah
dengan pertimbangan bahwa ia seorang mantan organisasi perjuangan nahi
munkar yang kabarnya kini sudah ‘menyesali’ perbuatannya dan kini fokus
ke amar makruf.
Bagaimana suatu
masalah Nahi Munkar diselesaikan oleh tokoh-tokoh agama yang spesialis
Amar Makruf ? Katakanlah mereka cukup memahami masalah Nahi Munkar,
tapi toh sebatas wacana atau paling tinggi dalam level di mimbar
mesjid, bukan dalam pergerakan konkret di lapangan. Adalah wajar bila
saksi mata atau intel Islam di Poso selama ini melaporkan kekejaman
musuh Islam kepada tokoh-tokoh ormas Nahi Munkar semacam Habib Rizieq
atau Ust Abubakar. Toh tidak mungkinlah mereka melaporkan hal semacam
ini kepada partai PKS atau Gusdur atau Aa Gym atau Syafii Maarif atau
Komarudin Hidayat. Ini sama juga diibaratkan seorang Presiden meminta
pendapat Menteri Keuangan untuk mencari jalan keluar terhadap masalah
keamanan atau masalah suatu peperangan. Pastilah sang Menteri Keuangan
melihatnya dari kacamata budget dan laba rugi.
Detik iniDetik
ini, ketika Anda sedang membaca tulisan ini. Bisa saja Pak Yusuf Kalla
lagi istirahat di tempat tidurnya yang empuk. Bisa saja Hendropriyono
lagi karaoke dengan mantan Jenderal lainnya. Bisa saja sementara itu
Anda sedang duduk di kafe sambil membaca tulisan ini ditemani secangkir
kopi. Bisa saja saat ini seorang warga muslim Poso sedang diperiksa
oleh Brimob bagian interogasi lantas dijepit keras kedua kakinya dengan
dua potong kayu bergerigi yang dirantai agar mengaku atau mengarang
cerita palsu. Bisa saja lubang gigi geraham seorang anggota keluarga
DPO detik ini sedang ditusuk dengan benda runcing agar mengaku dimana
menyembunyikan DPOnya. Atau kaki seorang muslim Poso baru saja
dipatahkan dengan benda tumpul karena tidak mau bekerjasama dengan
Brimob.
Bagi yang prihatin atau
berpihak pada umat Islam Poso, minimal anda bisa mendoakan mereka saat
ini juga. Bagi yang tidak peduli atau yang membenci umat Islam Poso,
timbul rasa penasaran saya untuk melihat bagaimana kelak Allah akan
memperlakukan mereka di akhirat. (Syarifuddin Ambalawi)
Sumber:Berbagai Sumber,Ensiklopedia Unik Disekitar Kita
Post a Comment