Pedasbanget.tk[Today]:Peristiwa G-30-S adalah peristiwa yang
sangat berpengaruh dalam sejarah masyarakat Indonesia. Paska peristiwa
ini pluralitas ideologi di Indonesia mulai dibatasi. Tidak hanya
pembatasan terhadap pluralitas ideologi (terutama ideologi
Marxisme-Leninisme yang dilarang untuk dipelajari dan disebarkan),
pembantaian jutaan manusia yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI
(Partai Komunis Indonesia) juga terjadi pascaperistiwa tersebut.
Bahkan, di dunia akademik diskursus tentang Marxisme juga dibatasi sesuai dengan isi dari TAP MPRS No.XXV/1966.
Di dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang
membatasi pluralitas ideologi, khususnya di dunia akademik, pertama:
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan, bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Keterbatasan ini menyebabkan kurangnya
pemikiran alternatif untuk memperkaya studi ilmiah, terutama studi
tentang ilmu sejarah, dan filsafat sejarah. Konsep materialisme
dialektika historis yang menjadi inti Marxisme, paska diberlakukannya
pelarangan terhadap ideologi Marxisme-Leninisme menjadi tidak bisa
dipahami secara utuh, karena adanya keterbatasan untuk mempelajarinya.
Selain itu, keluarga dari orang-orang
yang dituduh sebagai kader/simpatisan PKI mengalami hidup yang sangat
sulit. Bahkan, mereka juga menemui keterbatasan di dalam mencari
pekerjaan, dengan adanya “syarat bebas G-30-S” sebagai salah satu
persyaratan dalam mencari pekerjaan sebagai PNS/TNI/POLRI.
Itulah beberapa akibat kongkrit dari
peristiwa G-30-S, oleh karena itu maka studi filsafat sejarah terhadap
peristiwa G-30-S adalah sangat penting. Dengan mempelajari peristiwa
ini dengan menggunakan sudut pandang filsafat sejarah Marxisme, maka
diharapkan sebuah kebenaran tersembunyi bisa terungkap.
Ragam Versi Peristiwa G-30-S
Ada berbagai versi tentang G-30-S,
pertama adalah versi Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Menurut
versi ini, PKI adalah dalang sekaligus pelaku G-30-S. Oleh karena itu
maka Orde Baru menamai peristiwa ini dengan G-30-S/PKI. Versi Orde Baru
ini bahkan difilmkan lewat film yang berjudul “Pengkhianatan
G-30-S/PKI”. Secara keseluruhan isi film ini adalah kisah kekejian PKI,
yang menyiksa dan membantai para Jenderal Angkatan Darat. Semua
organisasi/kelompok yang terlibat, baik itu Cakrabirawa, Pemuda Rakyat,
Gerwani, dan lain-lain, menurut versi ini, berada di bawah pengaruh PKI.
John Roosa, di dalam bukunya yang
berjudul, “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September”, mengatakan
bahwa Pusat Penerangan Angkatan telah mempublikasikan tiga jilid buku,
dari bulan Oktober sampai Desember 1965, dengan tujuan untuk membuktikan
bahwa PKI secara organisasional adalah dalang G-30-S. Bukti utama yang
diulas dalam buku tersebut adalah pengakuan Untung, yang ditangkap di
Jawa Tengah tanggal 13 Oktober, dan Latief, yang ditangkap tanggal 11
Oktober di Jakarta. Kedua pengakuan ini merupakan dokumentasi laporan
interogasi terhadap kedua orang ini. Akan tetapi pada tahun 1978, Latief
mengemukakan bahwa pengakuannya terkait perannya dalam G-30-S yang
merupakan kesukarelaan, dan untuk kepentingan PKI, adalah disampaikan
dalam kondisi setengah sadar, dan sedang mengalami infeksi luka akibat
tusukan bayonet di kaki kirinya. Dalam sidang-sidang Mahmilub, keduanya,
baik Untung maupun Latief, menyangkal laporan-laporan interogasi
mereka, dan menyatakan bahwa G-30-S berada di bawah kepemimpinan mereka,
sementara PKI diajak ikut serta hanya sebagai tenaga bantuan saja
(Roosa, 2008 : 94-95).
Versi kedua mengenai G-30-S adalah
berasal dari “analisa awal” Bennedict Anderson, dan Ruth Mc Vey. Di
dalam analisa ini dijelaskan bahwa karena tidak ada bukti-bukti yang
kuat mengenai keterlibatan PKI seperti yang dituduhkan dalam
berita-berita pers, dan pernyatan-pernyataan Angkatan Darat, maka yang
lebih masuk akal adalah menjelaskan G-30-S sebagai suatu konflik
internal Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 95-96).
Ben Anderson dan Ruth McVey berpendapat
bahwa, G-30-S adalah sebuah pemberontakan dalam Angkatan Darat dari
perwira-perwira muda yang berasal dari Jawa Tengah. Alasan pemberontakan
adalah karena jijik terhadap kemerosotan gaya hidup, dan garis politik
pro-Barat dari para Jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) di Jakarta.
G-30-S adalah sebuah usaha untuk mengubah Angkatan Darat menjadi lebih
merakyat. Jaringan perwira Jawa Tengah ini menurut Anderson dan McVey,
bertujuan untuk membersihkan Angkatan Darat dari para Jenderal yang
korup dan konservatif, juga untuk memberi keleluasaan pada Soekarno
untuk menjalankan berbagai kebijakannya (Roosa, 2008 : 102-103).
Versi ketiga adalah versi Harold Crouch.
Menurut Crouch, G-30-S, adalah persekutuan antara perwira-perwira muda
dengan PKI. Inisiatif awal G-30-S adalah berasal dari perwira-perwira
muda ini. PKI terlibat, akan tetapi bukan sebagai kelompok inti yang
merencanakan dan mengeksekusi. Versi ini sama dengan versi Sudisman
(anggota Dewan Harian Politbiro CC PKI yang selamat, sisanya yaitu
Aidit, Lukman, dan Nyoto dieksekusi secara rahasia oleh TNI). Sudisman
berpendapat bahwa G-30-S adalah peristiwa internal Angkatan Darat. Ia
mengakui bahwa beberapa pimpinan PKI terlibat, akan tetapi PKI sebagai
institusi tidak terlibat (Roosa, 2008 : 106).
Versi kelima adalah pendapat W.F
Wertheim. Menurutnya, G-30-S adalah konspirasi antara Soeharto dengan
teman-temannya yaitu Latief, Sjam, dan Untung (tim inti G-30-S). (Roosa,
2008 : 112). Beberapa pimpinan PKI terlibat G-30-S, karena mereka
ditipu oleh Sjam, dan komplotan perwira anti-PKI yang ingin
menghancurkan PKI dan menggulingkan Soekarno (Roosa, 2008 : 116).
Filsafat Sejarah Peristiwa G-30-S
Marx dan Engels, di dalam Manifes Partai Komunis paragraf pertama, mengatakan:
“Sejarah dari semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Marx dan Engels, 1964 : 50).
Peristiwa G-30-S adalah manifestasi dari
konflik antar kelas-kelas dalam masyarakat, seperti pendapat Marx bahwa
sejarah masyarakat adalah sejarah kelas-kelas yang saling bertentangan.
Apa saja kelas-kelasnya? Apakah hanya borjuis dan proletar? Untuk kasus
G-30-S, kelompok-kelompok yang bertentangan sangat rumit, dan sulit
dijelaskan posisi keberpihakan tiap kelompok pada suatu kelas.
PKI adalah partai proletar yang telah
menjadi kekuatan politik yang cukup diperhitungkan ketika itu. Ini bisa
dilihat dari perolehan suara yang didapat PKI pada pemilu tahun 1955,
yaitu sebanyak 6.176.914 suara. Dengan ini, PKI mendapatkan 39 kursi di
parlemen (Ricklefs, 2010 : 520).
Akan tetapi dengan banyaknya jumlah kursi
yang dimiliki PKI, tidak disertai dengan dominasi dalam politik.
Pembatasan terhadap distribusi Koran PKI, Harian Rakyat, pelarangan
rapat umum, dan demonstrasi massa PKI oleh Pimpinan TNI (Tentara
Nasional Indonesia), yang dalam hal ini adalah Nasution. Pembatasan dan
pelarangan ini bersandar pada Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB), yang
memberi kekuasaan besar pada militer (Pour, 2011 : 221).
Posisi kuat militer (TNI) dalam politik
ditentukan oleh kuatnya posisi mereka dalam ekonomi. Hukum darurat
militer tahun 1957, memosisikan para perwira militer sebagai pengelola
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dinasionalisasi. Ini
kemudian memunculkan kelas baru, yaitu kelas borjuis militer (Caldwell
& Utrecht, 2011 : 246).
Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil
konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal.
Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959
diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer
yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI.
Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang
lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak
bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen
yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan
leluasa memecat para menteri, dan dengan ini maka pengaruhnya menjadi
terbatas. (Caldwell & Utrecht, 2011 : 218-219). Selama masa
Demokrasi Terpimpin, militer telah mengendalikan 60 persen pos-pos utama
dalam administrasi sipil (Caldwell & Utrecht, 2011 : 247).
Jadi, konflik antara borjuis dan
proletar, seperti pendapat Marx tentang sejarah masyarakat, memang
terjadi pada masa sebelum Orde Baru. Konflik ini memuncak pada peristiwa
G-30-S, beberapa pimpinan PKI terlibat dalam peristiwa itu. Selain PKI,
perwira-perwira Angkatan Darat juga terlibat, seperti Untung, Latief,
dan Supardjo, selain itu ada satu orang perwira Angkatan Udara yang
terlibat, yaitu Soejono.
Keterlibatan para perwira militer dalam
G-30-S membuat peta konflik kelas menjadi agak bias. Perwira militer
yang terlibat, secara politik adalah pendukung Soekarno, dan telah
melakukan konspirasi dengan Biro Chusus PKI dalam merencanakan aksi
G-30-S. Keberpihakan para perwira militer pelaku G-30-S ini adalah pada
Soekarno, karena awalnya para Jenderal yang dihabisi dalam peristiwa
G-30-S akan dihadapkan secara hidup-hidup pada Soekarno, untuk dimintai
pertanggungjawaban terkait dengan isu Dewan Jenderal (Roosa, 2008: 311).
Kemenangan borjuis militer, yang dipimpin
oleh Jenderal Soeharto dalam konflik antarkelas ini, adalah dikarenakan
kesalahan PKI dalam mempraktekkan prinsip-prinsip Marxisme. Dalam
prinsip Marxisme, revolusi adalah perjuangan kelas tertindas yang
terorganisir untuk merebut kekuasaan. Sementara itu, aksi G-30-S adalah
aksi konspirasi antara beberapa perwira Angkatan Bersenjata pro-Soekarno
dengan divisi rahasia PKI (Biro Chusus). Keterlibatan proletar yang
dalam hal ini buruh dan tani, dikatakan tidak ada. PKI memiliki
organisasi underbouw buruh dan tani, yaitu SOBSI dan BTI, yang
memiliki banyak anggota. Akan tetapi, pada peristiwa tersebut
organisasi-organisasi ini tidak dilibatkan sama sekali.
Soekarno secara ideologi adalah seorang
sosialis. Bahkan, ia meng-Indonesiakan Marxisme dengan konsep
Marhaenismenya. Akan tetapi secara politik, Soekarno memiliki
kecendrungan membiarkan dominasi politik tentara professional dalam
kekuasaan, walaupun kemudian dia juga memberi tempat pada pimpinan PKI
dalam kabinetnya. Namun demikian, para menteri dari pimpinan PKI tidak
ada yang memiliki jabatan strategis. Kekuasaan Negara pada zaman
Demokrasi terpimpin secara keseluruhan dipegang oleh militer dengan
adanya UUKB.
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 memakan
korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira
pertama. Peristiwa ini kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat
untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto.
Wewenang khusus lewat Supersemar kemudian diberikan oleh Soekarno.
Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari kewenangan yang
diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret
adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Dengan manipulasi
politik lewat Dekrit Presiden No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan
dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi
komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).
Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih
untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan
sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat
selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai
kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi
pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam
pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini, Soeharto menuduh PKI sebagai
dalang G-30-S. Selanjutnya, Soeharto menangkap sekitar satu setengah
juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu kemudian
dibantai oleh Angkatan Darat (Roosa, 2008 : 5). Menurut pengakuan Sarwo
Edhie Wibowo, sebagai komandan pembantaian, terdapat tiga juta orang
yang telah dibantai (Pour, 2011:273).
Pandangan Marxisme yang mengatakan bahwa
kontradiksi melahirkan perubahan memang terjadi di dalam peristiwa 1965.
Secara politik memang terjadi pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada
borjuis militer Soeharto. Secara ekonomi juga terjadi perubahan dari
yang sebelumnya menutup diri dari dominasi asing, bahkan
menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing, kemudian pada masa Orde
Baru modal asing bisa bergerak leluasa di Indonesia (Caldwell &
Utrecht, 2011 : 287).
Selain itu, secara politik terjadi
perubahan dengan diselenggarakannya pemilu, walaupun masih bersifat
manipulatif. Hal ini berbeda dengan masa Demokrasi Terpimpin yang
meniadakan pemilu. Akan tetapi persamaannya adalah pada kekuasaan
presiden yang besar, bahkan legislatif pada masa Orde Baru, tunduk pada
presiden.
Sistem ekonomi liberal yang diterapkan
Orde Baru, kemudian memaksa sistem politik otoriter Orde Baru jatuh. Ini
ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai presiden pada tahun
1998, setelah gelombang aksi-aksi massa menuntut penggulingan Soeharto
dan kerusuhan sebagai akibat dari krisis ekonomi pada tahun 1998. (^^)
Sumber:wikipedia.org,berbagai sumber,pedasbanget.tk
Post a Comment