Pedasbanget.tk-Lebaran belum lengkap tanpa makan
ketupat. Saat lebaran tiba, ketupat seolah menjadi menu wajib yang mesti
tersedia di meja makan. Namun bagaimana asal-asul sejarah ketupat?
Mengulas sejarah ketupat tidaklah semudah mengunyah ketupat itu sendiri.
Ketupat sudah lama dikenal di sejumlah
daerah di Indonesia. Ini terlihat dari sejumlah makanan khas yang
menggunakan ketupat sebagai pelengkap hidangan. Ada kupat tahu (Sunda),
kupat glabet (kota Tegal), coto Makassar, ketupat sayur (Padang), laksa
(kota Cibinong), doclang (kota Cirebon), juga gado-gado dan sate ayam.
Tapi tetap saja, tanpa ketupat di hari lebaran, terasa kurang afdol.
Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal,
ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa
pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf
menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk
menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon
kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya
masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah
dan merah dari Asia Timur.
Demak adalah kerajaan Islam pertama di
Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan
dukungan Walisongo (sembilan wali). Ketika menyebarkan Islam ke
pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur
keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Di
sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Sahid, anggota Walisongo yang
sohor dengan panggilan Sunan Kalijaga, lalu memperkenalkan dan
memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat,
dalam perayaan lebaran ketupat, perayaan yang dilaksanakan pada tanggal 8
Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa
Syawal.
Lebaran ketupat diangkat dari tradisi
pemujaan Dewi Sri, dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan
kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Ia dewi tertinggi dan terpenting
bagi masyarakat agraris. Ia dimuliakan sejak masa kerajaan kuno seperti
Majapahit dan Pajajaran. Dalam pengubahsuaian itu terjadi desakralisasi
dan demitologisasi. Dewi Sri tak lagi dipuja sebagai dewa padi atau
kesuburan tapi hanya dijadikan lambang yang direpresentasikan dalam
bentuk ketupat yang bermakna ucapan syukur kepada Tuhan.
Dewi Sri tetap dihormati dan dimuliakan
oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali. Beberapa keraton di Indonesia,
seperti Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap melestarikan
tradisi ini. Sebagai contoh upacara slametan atau syukuran panen di Jawa
disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga
berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Dalam upacara ritual
semacam itu, ketupat menjadi bagian dari sesaji –hal sama juga terjadi
dalam upacara adat di Bali. Di masyarakat Jawa, ketupat sering digantung
di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat atau penolak bala.
Tak heran jika kita melihat sejumlah
tradisi di sejumlah daerah, yang berkaitan dengan agama Islam, Hindu,
maupun kepercayaan lokal. Di sejumlah daerah ada tradisi unik yang
dinamakan perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan
setiap memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Di Desa Kapal, Badung,
Bali, perang ketupat dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan. Di Lombok, perang ketupat dilakukan sebagai ungkapan rasa
syukur atas keberhasilan panen dan menandai saat mulai menggarap sawah.
Tradisi itu masih bertahan hingga kini.
Tradisi lebaran ketupat, yang notabene
berasal dari wilayah pesisir utara Jawa, tempat awal penyebaran Islam,
tak kuat pengaruhnya di pedalaman. Hanya sejumlah wilayah pesisir utara
yang hingga kini menganggap lebaran ketupat, biasa disebut “hari raya
kecil”, sebagai lebaran sebenarnya seperti Kudus, Pati, dan Rembang.
Secara esensial, tak ada yang membedakan antara lebaran ketupat dengan
lebaran pada hari raya Idul Fitri. Keduanya punya makna yang sama.
Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur”
yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan
dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Dengan demikian
bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati
nurani.
Bagi sebagian masyarakat Jawa, bentuk ketupat (persegi) diartikan dengan kiblat papat limo pancer. Papat
dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin utama: timur, barat,
selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan pergi ia tak
boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).
Rumitnya anyaman janur untuk membuat
ketupat merupakan simbol dari kompleksitas masyarakat Jawa saat itu.
Anyaman yang melekat satu sama lain merupakan anjuran bagi seseorang
untuk melekatkan tali silaturahmi tanpa melihat perbedaan kelas sosial.
Tapi ceritanya jadi lain ketika terjadi krisis di saat lebaran; jurang
sosial pun jadi jelas. Misalnya seperti dikisahkan Rosihan Anwar.
Dalam Sukarno, Tentara, PKI,
Rosihan menulis catatan harian bagaimana lebaran pada 1961. Ketika
berangkat salat di Kebayoran Baru, di jalan dia melihat banyak becak
yang didandani dengan selongsong ketupat. Roshan berpikir para abang
becak sedang merayakan lebaran. Tapi seorang sopir jip bercerita bahwa
para abang becak mendapatkan selongsong itu dari pasar-pasar yang
membuangnya karena tak laku. Beras, yang menjadi isi ketupat, tak
terbeli oleh rakyat karena harganya melambung.
Beruntunglah Anda kalau bisa menikmati
lezatnya ketupat. Kini, ketupat juga tak harus membuatnya dari janur.
Anda bisa makan ketupat tanpa repot-repot menganyam daun janur.
Selongsong ketupat bisa diganti dengan bungkus plastik atau tabung
kaleng khusus siap beli. Selain harganya lebih murah, plastik lebih
mudah didapatkan dan praktis. Tapi sebagian orang tetap menggunakan
janur karena citarasanya yang khas dan lebih alami.
sumber:yahoo.berita.com,pedasbanget.tk
Post a Comment